Kesekian kalinya saya mengikuti kuliah-kuliah segar dari Profesor Sangkot. Selama di Jakarta bahkan sudah beberapa kalinya untuk hari ini pada Sabtu, 7 Desember 2019, saya kembali berada disini; sebuah rangkaian acara bertajuk Panggung Indonesia 2045: Meet Young Scientist yang digagas oleh Tempo Institute di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat.
Saya mendapat undangan ini dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIMI) melalui media sosial facebook dan grup bedah buku dari aplikasi WhatsApp yang dikelola oleh penerbit buku Komunitas Bambu. Sepagi buta saya bangun lebih awal dari sebelumnya agar dapat mempersiapkan segalanya. Setelah menyelesaikan yang menjadi rutinitas kesibukan hari-hariku untuk mencari pundi-pundi. Saya lalu memacu sepeda motorku ke arah jalan Medan Merdeka Selatan, dimana Perpustakaan Nasional membumi takzim menghadap kearah Monumen Nasional(Monas). Kulirik jam tanganku waktu tengah menunjukkan pukul 12.30 siang untuk pembagian waktu wilayah Indonesia Barat_WIB. Pertanda waktu semakin dekat. Segera saya memasuki area pelataran gedung Perpustakaan Nasional. Digedung Perpustakaan ini mulai dari halaman, beranda, lantai satu, hingga di lantai ke tiga nya berjejal banyak sekali orang terpelajar dari berbagai kalangan dengan keberadaan beberapa gerai yang bertautan dengan seremonial yang sedang digagas oleh Media Tempo tersebut. Segera saya melakukan registrasi dan memasuki ruang auditorium di lantai dua. Saya menyengaja untuk duduk tidak begitu terbelakang dan tidak juga berada di paling terdepan. Saya duduklah dikursi barisan tengah antara kursi-kursi lainnya. Lebih tepatnya di barisan sisi kiri jika menghadap ke arah panggung ruang Auditorium. Bangkuk nya serupa kursi-kursi di pertunjukkan filem bioskop; empuk sekali duduknya. Saya betah untuk berlama-lama disini. Tampak acara dipandu oleh seorang MC[ Master of Ceremony] berusia sepantaranku dengan tepuk tangan yang bukan main riuhnya disertai hadirnya Prita Laura yang didapuk menjadi moderator kali ini. Seperti nya Prita Laura ini pembawa berita di siaran MetroTV itu. Saya hafal betul dari mimik wajah nya yang khas melayu dengan tubuh bisa dibilang perempuan paling proporsional memiliki bokong lebih padat dan berambut kekinian yang diberi sedikit pewarna menyerupai seorang wanita blonde ke-Eropa-an. Gaya bertutur nya yang baik dan jelas menggambarkan bahwa ia memang seorang pewarta profesional makin membawakan acara bertajuk Bertemu Ilmuwan Muda tersebut serasa begitu seru sekali. Saya percaya pada kualitas diskusi atau seminar sangat tergantung juga pada kualitas seorang pembawa moderator nya yang handal dan memahami permasalahan yang ingin dibedah(atau akan dikupas).
Saya lalu ke toilet di arah membelakangi panggung. Terdapat sebuah lorong kecil. Saya masuk ke toilet laki-laki. Saya buang air seni disitu agar saya meninggalkan bekas di gedung Perpustakaan paling tinggi di dunia ini, renungku menyeruak dari dalam pikiran ku yang sadar. Saya kembali, dan duduk untuk lebih serius. Rupanya Profesor Sangkot sudah berada ditempatnya sejak beberapa menit yang lalu. Saya berusaha untuk tetap diam seraya ingin berfokus pada paparan-paparan Ilmuwan itu ketika menaiki panggung menyampaikan persentase penelitian dan gagagsan ke ilmuan nya. Sejenak saya pun ikut terbawa tenang. Terasa sunyi dan hening. Kali ini saya cukup bersemangat. Kendati demikian saya memang sudah sering kali menyantap kuliah-kuliah umum lezat bernutrisi dari Profesor Sangkot. “Hari ini, pada Sabtu siang(7/12), saya kembali bergairah untuk menerima siraman pengetahuan dari- nya,” saya membatin diam berada diantara banyak ilmuwan muda yang berada disana. Para ilmuwan ilmuwan itu kebanyaakan peneliti dari LIPI, AIPI, AIMI, beberapa peneliti independen dan tentunya para peneliti yang juga pengajar dari banyak universitas di Jabodetabek. Tapi lebih di dominasi dari departemen pertanian IPB dan sebagianya UI. Saya mengamati nya seraya menanyakan langsung ke beberapa orang. Delapan orang yang berhasil saya tanyai dan telah mengobrol dengan ku, lima diantaranya mengakatakan, bahwa mereka merupakan mahasiswa, pengajar dan peneliti dari departemen Pertanian Universitas Pertanian Bogor untuk jenjang keilmuan Strata-Dua _ (S-2)Master Degree, dan bahkan beberapa diantaranya bakal S-3 dan sudah ada yang menjadi doktor. Dua diantaranya dari Universitas Indonesia. Termasuk beberapa peneliti dari disiplin ilmu sosial(Antropologi & Sosiologi) Universitas swasta lainnya. Saya kurang begitu tahu pasti dari perguruan tinggi mana mereka. Tapi saya merasa menggebu-gebu ketika melihat “passion” meneliti mereka yang begitu tinggi minatnya terhadap ilmu pengetahuan. Usia mereka terpaut sedikit lebih muda dari saya yang kelahiran delapan puluhan(4/1984). “Pembekalan ilmu dan tips dari Profesor Sangkot kali ini akan benar-benar membakar passion saya,” tak henti-hentinya saya membatin lagi, berimajinasi dalam ruang kesadaran berpikir yang lebih serius dan bersungguh-sungguh.
Perkenalkanku pertama dengan kuliah-kuliah lezat dari Prof. Sangkot, mula-mula terjadi di Museum Nasional, Jakarta Pusat, sekira 8 bulan yang lewat itu (23/4/2019); Diskusi dan Bedah Buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai Orde Baru yang dibentuk oleh Komunitas Bambu sebagai penerbit buku terjemahan dari versi aslinya “The Floracrat karya Andrew Goss”.
Beberapa bulan berlalu, tatap muka berikut nya kembali berlanjut di Sains di Medan Merdeka tribute for B.J. Habibie yang diprakarsai oleh AIPI_Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia & AIMI_ Akademi Ilmuwan Muda Indonesia(11/11), di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Berselang tiga hari kemudian masih bulan yang sama(15/11) komunitas bambu kembali mengadakan kuliah umum di ruang apung perpustakaan Universitas Indonesia, Depok: Kuliah Umum Inspirasi Satu Setengah Abad Buku The Malay Archipelago dan Satu Dekade Buku Kepulauan Nusantara Karya Alfred Russel Wallace dengan menghadirkan guru besar Profesor Sangkot Marzuki sebagai narasumber pemateri.
Pertemuan selanjutnya kembali terjadi di acara bedah buku masih berdiskusi soal buku yang sama; karya Alfred Russel Wallace yang digagas oleh sebuah Perkumpulan Gerakan Kebangsaan(3/12), di Gren Cikini Hotel, Menteng, Jakarta pusat. Profesor Sangkot kembali dipercaya oleh Komunitas Bambu bersama Profesor Jatna Supriatna untuk menjadi narasumber di acara bedah buku tersebut. Disana saya demikian kian tercerahkan dan tenggelam pada suasana manisnya menutut ilmu di lingkungan masyarakat yang memandang ilmu pengetahuan sebagai sebuah jalan kemajuan berperadaban.
Saya pastikan untuk selalu hadir jika pak Prof. Sangkot ini yang menjadi narasumber nya. Selama di Jabodetabek saya berusaha untuk menghampirinya kendatipun keadaan sibuk-sibuknya. Karena saya tahu betul kesempatan yang sama tidak akan pernah datang menghampiri dua kali. Saya begitu menggandrungi pengetahuan-pengetahuan segar dan bernutrisi dari pemikirannya. Jam terbang ke-ilmuwan-nya tinggi sekali. Pemahaman disipilin keilmuan nya sangat dalam. Riset yang ditekuni nya diperhitungkan di dalam negeri pun di luar negeri, yakni meneliti biogenesis dan kelainan genetik pada manusia[Molecular Biology]. Beliau juga seorang guru besar yang yang memiliki jam terbang paling sibuk di departemen biologi dan kedokteran. Menghabiskan masa studi, riset, dan sebagai guru besar lebih kurang tujuh belas tahun di Australia. Sebagai pengajar dan seorang ilmuwan di beberapa universitas ternama: di Thailand, Australia, Malaysia, Indonesia dan ada lagi. Lalu Kemudian diminta oleh pak B.J.Habibie untuk menghidupkan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang sebelumnya memang sudah dirintis oleh Prof. (alm) Habibie. Bagi Profesor Sangkot, sains tidak mengenal tapal batas. Lebih kurang 50 tahun ini–ia telah berkiprah nyata dan bersungguh-sungguh dibidang pengetahuan ilmiah[mengembangkan sains].
“Mobilitas adalah kunci keberhasilan seseorang dibidang Sains,” tandasnya tadi siang(7/11/2019) saat memaparkan riwayat hidup perjalanan ke-ilmuwan-nya dalam rangkaian bertajuk Meet Young Scientist yang digagas oleh Tempo Institute di Perpustakaan Nasional di Jakarta(7/12).
Profesor Sangkot menguraikan, amat banyak pengajar-pengajar di beberapa Universitas di negeri kita hari ini yang menyelesaikan masa studi sampai mengajar nya bahkan masih di universitas yang sama; mulai kuliahnya disitu—dari S-1 hingga doktoral masih disitu pula. Lantas kemudian menjadi dosen disitu lagi.
“Padahal lingkungan kerja dan budaya yang berbeda sangat menginspirasi ide-ide ilmiah baru. Disitulah pentingnya mobilitas bagi seorang dosen dan peneliti,” seloroh Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia(AIPI) di periode 2008-2018 tersebut begitu meyakinkannya.
“Fungsi berikut nya pentingnya mobilitas(tidak terkungkung disatu universitas atau daerah yang sama) bagi seorang dosen atau berprofesi menjadi ilmuwan adalah, dapat berbagi keahlian dan teknologi yang akan memberikan nilai tambah dengan peluang ruang lingkup yang jauh lebih luas untuk target studi yang lebih ambisius,” lanjut Profesor Sangkot memaparkan kiprah perjalanan hidupnya melalui beberapa ‘slideshow’ yang dibawakannya.
“Fungsi yang tak kalah penting nya mobilitas bagi seorang ilmuwan adalah tatkala memiliki jaringan profesional yang lebih luas, serta membuka peluang untuk inisiatif-inisiatif penelitian terbaru,” sambung pendiri Lembaga Riset Eijkman tersebut.
Uraian Profesor Sangkot mengenai kisah perjalanan disiplin ke-ilmuwan-nya begitu menginspirasi kepada siapapun. Fungsi edukasi dan inspirasi nya sangat jelas dipaparkannya kepada para calon-calon ilmuwan ilmuwan muda yang akan menentukan dan mengisi masa depan riset di negeri ini– 10 entah 20 tahun yang akan datang. Saya cukup serius menyimak dan memahami dari awal sampai akhir berusaha untuk tidak kehilangan konsentrasi barang sedikitpun. Sebagai penutup paparannya, beliau mengutipkan ucapan Louis Pasteur:
“Sains tidak mengenal negara, karena ilmu pengetahuan adalah milik ummat manusia, dan merupakan obor yang menerangi manusia”.
Dengan tampilan ‘slide’ dan selembar foto bukan berwarna dari kenangan masa mudanya bertuliskan sederet tulisan ada di disisi paling bawah gambar: Monas University Melbourne, PhD 1971-1975. Dengan tampilan rambut lebih menyerupai sang legenda kungfu Bruce Lee, tampak senyum lepas Sangkot muda menyengir begitu meyakinkan, bersinar dan bersahaja. Menandakan, bahwa beliau memang sejak mudanya sangat, sangat berbakat dan memiliki minat yang begitu besar terhadap sains telah mengantarkannya dipelbagai prestasi keilmuan lintas dunia yang diperhitungkan.
Ucapan “terimakasih” diakhir paparan sang Profesor seraya bersambut applaus yang riuh dan sangat bersemangat dari seluruh calon-calon ilmu an yang memenuhi ruang Auditorium lantai dua Perpustakaan Nasional.
Sejenak suasana menjadi hening. Panggung diskusi lantas diambil alih oleh moderator Miss Prita Laura. Lalu dilanjutkan lagi presentasi berikut nya dari beberapa ilmuwan muda lainnya yang memang sudah diagendakan sebelumnya secara berturutan oleh panitia Tempo Institute sebagai pembuka kegiatan Tempo Media Week 2019, yang diadakan pada pekan pertama, di bulan penghujung tahun ini(12/19), di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.(
Komentar Terbaru