Senandung Masa Lalu

anak desa
Senandung Masa Lalu ; Arman Jaya

“Sebuah simfoni kisah kelam yang tumpah ruah,dibalut kekolotan bercampur keluguan,  layaknya seorang anak dari kampung Pesisir :Kental kearifan budaya lokal, sarat nilai humanis, perjuangan seorang Arman Jaya melawan kemiskinan, menggapai pendidikan hingga menyelesaikan study Senior High School nya di kepulauan Muna-South East Celebes-Indonesia”

Kepulauan Muna-Kota Raha Tahun 2000

Enam belas tahun silam,saat-saat awal membenamkan kaki di kota Raha adalah ingin melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas.Nuansa mode dan style ndeso saya demikian kental.

Terlihat dari sisiran rambut belah samping, berseragam putih  abu-abu nampak lusuh dan jubrai (Gaya Arafiq).Putihnya baju seolah merindukan cairan pemutih, dengan selurupan setrika,maklum seragam itu merupakan warisan angkatan dari generasi sembilan puluhan yang tersimpan apik pada lipata rapi tersembunyi dalam soronga(Boks peti kayu berbentuk kotak).

Oleh sebab, minim biaya.Boro-boro untuk membeli baju,beli buku saja mesti menunggu musim paceklik kacang mete tiba.Jika musim penghujan yang berkepanjangan maka kembang-kembang mete yang telah bermekaran kembali hitam mengering dihempaskan angin berguguran, dan harapan untuk memiliki sepatu juga seragam sekolah baru,tinggalah sekeping impian musiman, berganti dekade.

Seorang anak ndeso yang baru saja mengenal kota, kerapkali aku mesti beradaptasi dengan lingkungan sekitar.Tak jarang, saya menerima kritikan bernada ejekan jika keliru melakukan sesuatu hal “dasar anak kampung,belajar-belajar ko tinggal di kota dhi(de)…….Ini bukan kampung” sahutnya dengan logat kental Raha .

Sebagai anak tinggal yang sekedar menumpang hidup untuk mengenyam pendidikan di kota.Kala subuh datang sebelum tuan rumah bangun,aku bangun lebih dulu mengambil wudu. Lalu,mengumandangkan azan.Meski suaraku kering, azan subuh sedikit kusyahdukan intonasinya, agar menggemakan gairah atas ketakutanku di ruangan dua kali tiga yang menjadi ruangkan tidurku.Dengan begitu aku merasa setan juga jin yang mungkin bersemayam dikamar itu, lari tunggang-langgang kepanasan.

Letak ruangan itu paling belakang mojok sendiri, disamping ada gudang, didepanya ada dua kamar kecil.Di sisi bawahnya turun dua tangga ada sumur  tertutup rapat oleh papan jati yang gelap,pengap.Berada ditengah beranda dapur.Jika listrik sedang padam acapkali aku menaik-turunkan gayung,sekedar menimba airnya, tetap saja wujud penampakan kolong sumurnya  tak pernah kulihat. Dalamnya tak pernah aku amati. Di ujung paling belakang ada kandang unggas tua yang tak dipedulikan oleh pemiliknya, didepanya  menjulang pohon mangga berdaun teduh.

Kalau berbuah tak lebih banyak dari daunya,di pekarangan hingga sisi rumah tumbuh aneka kembang mawar melati dan bunga hias indah dipandang mata.Di seberang jalan ada perusahan sawmill(somel) peninggalan Jepang.Masih beroperasi, menjadi pusat pengolahan kayu jati di Batalaiworu kepulauan Muna.Berpuluh-puluh tronton dan trailer hilir mudik didepan rumah keluar masuk pabrik itu,dengan membawa gelondongan berkubik-kubik pohon jati  seukuran drum yang akan berakhir di mata gergaji.Mesin-mesin gergajinya konon sering menelan korban, melumat para pekerjanya yang lalai, mengubahnya menjadi serbuk kayu bercampur daging atau mesin-mesin gergajinya kadang memotong tangan atau kaki pekerjanya . Lalu lari tergopoh-gopoh berdarah-darah tanpa tangan meneriakan “minta tolong “.

Pabrik  itu beroperasi sekian puluh tahun,tak terhitung berapa banyak pohon jati yang dilahap setiap hari oleh mesin-mesin sawmill yang amat tajam berdiameter setinggi orang dewasa .Tegak melingkar bak piringan raksasa berputar cepat siap membela batang-batang  besar yang dituntun oleh rel –rel menuju mata gergaji berdesingan ditengah mesin-mesin yang menderu hingga malam setiap menjelang azan Isya.Terlebih dilingkungan sekitar, sangat melegenda dikalangan penduduk  ,jika pabrik tua itu tergolong lingkungan paling angker di Batalaiworu.

Kira-kira ruang tempatku menghabiskan hari demi malam itu, dibangun sesuai rencana si empunya  rumah sebagai kamar asisten rumah tangga (pembantu keren masa kini).Usai sesubuh sudah menjadi rutinitasku : Mencuci piring-piring kotor,menyapu di beranda.Kalau masih  ada tersisa nasi dan lauk pauk semalam, aku sarapan, agar tak ada orcestra yang biasa berkukur dalam lambung kosongku kala proses belajar sedang terjadi.Lekas itu aku mandi, kemudian bergegas ke sekolah.

Pada dekade delapan puluhan hingga masa akhir tahun dua ribu,sebelum sepeda motor diproduksi secara masal : Telah membudaya di tanah air kita ,kala mentari pagi menyapa dibalik sinarnya yang hangat,diantara pohon besar kecil pada sisi bibir jalan poros Tampo- Raha, seolah menjadi saksi bisu segerombol anak sekolah yang mengayuh kaki lima hingga puluhan kilometer berpacu dengan waktu, lalu-lalang menuju sekolahnya masing-masing .Jika bangun paginya kesiangan, jangan harap bisa mengikuti apel pagi atau upacara di sekolah.Selain ketinggalan segerombol pejalan kaki lain, tentu aku juga malu menjadi pejalan kaki tunggal berseragam putih abu-abu, berada diantara lalu lalang satu dua kendaraan yang  seliweran di kota itu.

Sebagian siswa-siswi yang terlambat,bahkan nekat mencari jalan pintas menerobos semak menghempaskan ilalang,mematahkan reranting menyebrangi sungai dan rawa, menuruni ngarai demi bersembunyi dibalik ratapan tembok sekolah.Lalu, bermain petak-umpet dengan pak guru yang piket diwaktu apel pagi.Tak pelak, jika kedapatan punishment bagi mereka menanti .Dijemur dibawah sinar matahari pagi, hingga materi belajar pertama usai,biasa juga memungut dedaunan kering yang berguguran terhempaskan oleh angin atau mencabut rerumput yang menggulma di pekarangan kantor kepala sekolah.Jangan coba untuk menepis atau menghindar, jika perutmu tak ingin di jewer oleh pak guru bimbingan konseling.

Meski tak seceria masa-masa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Dua di Tongkuno. Seusia ini tak terpikirkan olehku betapa pentingnya pendidikan,belum lagi aku yang sakit-sakitan.Kadang apabila proses belajar-mengajar sedang berlansung diruangan kelas,tiba-tiba badanku panas, dingin gemetaran.Kalau tak kuat untuk mengikuti pelajaran berikutnya, segera aku pamit diri kembali ke rumah dengan mengayuh kaki diatas aspal ditengah panas sang surya yang menerik,muka pucat pasi,perut kosong melompong,tak ada selembarpun rupiah menyaku ,pulang kerumah terbayang-bayang dengan banyaknya pekerjaan menumpuk bak gunung Lambelu di pulau Buton.

Hampir setahun ini,proses menggodok diri menempa ilmu di bangku pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri Tiga Raha telah mengekang jiwaku,mempersempit ruang geraku,memenjarahkan kebebasanku.Sebagai anak bertumbuh ke fase  remaja yang lahir di pesisir kampung, adakalanya aku  merindukan mengembara di alam liar desa.Tenggorokanku mulai pecah,suaraku parau, dadaku terlihat nampak bidan.Pertanda usiaku mulai dewasa.

Anak lelaki memasuki fase itu, aku  mulai mengagumi sosok seorang  gadis  imut nan manis,  dari kelas sebelah.Parasnya kian menggemaskanku ,jika aku dengan seksama mengarahkan pandangan seratus sembilan pulu derajat ke arahnya, yang sedang  duduk di bawah pohon rindang,berbadan kecil ,tinggi standar rata-rata,sikapnya kalem ,kulitnya hitam mulus,bak gembol jati yang dipelitur licin ,  kedua betis hingga  lengan kecilnya tumbuh liar buluh halus panjang nan lentik , jika ia berjalan, nampak kedua kakinya yang slim bagai berjalan diatas catwalk. Rambutnya lurus hitam terawat ,sengaja diurai pada sisi lekukan pundaknya ,kadang rambut itu disangul keatas ,penampilanya yang rapi bersih  dengan balutan kaus kaki putih model renda-renda terbungkus sepatu hak hitam pendek bak pegawai BUMN di bagian Public Relation Officer. Ketika bertemu ia tak sengaja,jantungku serasa berdegup lebih kencang, debar membahana menggetarkan jiwaku.Ia begitu menebarkan  pesona gadis Nusantara tulen.

Sapaan dari teman-teman  memangilnya dengan sebutan “Juju”.Nama itu begitu syahdu ditelingaku, membenamkan rasa hingga ke sanubari jantungku. Jika secara kebetulan berjalan beriringan pulang  ,saya arahkan sorot mataku mencuri pandangan ke arahnya, barisan huruf nampak jelas pada plakat kecil hitam di seragam putihnya, bertuliskan “Juhaida.”

“O  Juhaidah”. Langkah lestari sejak tubuh ini resah mendera qalbuku,mendengar namanya yang mencoba syahdu ,aku yang tekun menyangga larah .Hari ini seluruh tekad berpadu qalbu karena terdengar ia juga masih enggan menerima suratku.Walau anak rimba mencoba tulus menyanyi.

Disini,dedaunan bersyair kepada leluhurnya,walau sungai serahsianya,masih merdu mengalir,kembaranya tetap resah terdengar suara rindu abad lalu menyerap gelak,mewaras seduh segalah yang piluh.Kita tak rela,dengar rintih batin yang murung.O Juhaidah, sekiranya namamu menggetrakan jiwa raga hidupku  tak mengapa, engkau menepikan segala asa, asal lestari dalam juangku.

Pagi berganti hari, kaki-kaki bergerombol pencari ilmu berjalan seirama, sepekan enam pagi- enam petang hilir mudik dibibir jalan.Jika hujan kedinginan, panas yang menerik memeras keringat melukis peta buta di putihnya seragam, tak perduli indahnya berjalan kaki bersama-sama ke sekolah.

Sudah kutulis sepucuk surat untuk Juju, mengungkapkan segala harapan yang aku rasakan,sungguh aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku padanya.Apalagi membohongi diriku.Inikah yang namanya cinta pertama ? menabur seberkas cinta  meski tak ada respon,mencoba ku ungkapkan rasa namun tak kunjung aku mendapatkan balasan surat darinya.Berkali-kali aku menanti balasan, namun segala rasa kekaguman bercampur cinta itu hanyalah sebatas impian kosong.

Yang aku amati  ternyata ia justru berkirim surat kepada sahabat  sebangkuk  denganku dari Palangga,konon ia  anak SLANK .Namayanya La Ode Sardin Wardani,di panggil Sardin.Perawakanya tergambar ia adalah seorang anak kota yang gaul mengikuti trend dan mode,rambutnya di cepak lebih mirip Primus Yustisio dalam laga,adegan film Manusia Melinium.Tas  selempangnya dari rajutan kain  menemepel takzim emblem tenun SLANK.Namun sahabatku itu tak pernah menggubris atau membalas surat-suratnya.

Cinta memang demikian misterius.Sukar untuk dikalkulasi.Tak bisa dikejar,tak bisa diraih begitu saja.Ia adalah kata sederhana, namun tanpa  cinta kehidupan takkan pernah lahir kehidupan yang penuh dengan sukacita . Disekolah setiap pagi menjelang siang demamku makin mengusik saja,rasa menggigil datang setiap hari,tanpa pernah megerti kondisi dan situasi.Anehnya demam itu menyerangku ketika  mengikuti pelajaran di kelas.

Selepas sekolah di bulan Ramadan, mendorong gerobak mengumpulkan potongan-potongan jati sisa sawmill untuk bahan bakar tungku menjerang airpanas .Menyelinap ke perusahaan Jepang (PT.Dwi Mutsyumi) yang berada persis diseberang jalan pekarangan rumah.Demikian semangatnya aku bekerja kala membayangkan sosok Juju yang mendayu-dayu bergelayut dalam jiwaku, masih terngiang membayang membakar semangtku,sehingga terlupa jika gerobak sudah terlampau penuh bahkan overload.

Tiba-tiba derasnya hujan mengguyur kepalaku, menyiram tanah kering kelontong, ban gerobak tertanam lumpur memaksa mendoronag.Selepas taraweh menjelang subuh badanku menggigil,perutku mengelurkan muntah kuning.Aku merontah-rontah kesakitan tak terperikan.

Tinggal dirumah orang lain  dalam keadaan sakit sekarat tertatih-tatih susahnya sangat mengesalkan,bathin hanya bisa mengerang bersama tembok ,merintih pada bantal,jeritan-jeritan kecil dihati amat memilukan, orang-orang di rumah tempatku bernaung terlihat samar  .Orang tua jauh dikampung hanya bisa membesuk jika memiliki ongkos angkutan,bibir serasa tak mampu mengucapkan sepatah kata minta tolong.Malu dan sungkan. Empat belas hari terbaring lunglai di pembaringan kamar dua kali tiga itu.

Pada akhirnya berita sakitku juga sampai ketelinga Ibu,ia lantas bergegas ke kota Raha dengan membawa berbagai jenis sayuran dan umbi-umbian dari kampung desanya. Selang berapa lama, setelah saya dibawa ke RSUD Raha,penyakitku mulai pulih.Aku terlihat menampakan sebuah harapan kesembuhan. Ibu kembali kekampung akupun ikut bersamanya,walau ongkos pas-pasan ibu mengindahkan permintaanku.

Dikampung aku bertemu nenek Wa Mpalasi(Ibunda Om Pak Zainal La Dae).Sore itu angkutan pedesaan yang kami tumpangi baru saja berhenti persis didepan pekarangan rumah nenek,suasana teduh makin petang di desa, semilirnya angin sepoi-sepoi berhembus disertai bunyi dentuman katumbu yang bertalu-talu, bagai orang menabuh gong,rupanya nenek sedang sibuk  menghancurkan biji-biji  kambose (biji jagung tua rebus)  dengan kayuan naik turun tangan kananya, sementara tangan yang lain menopang semangkuk sayur bening hangat dari dedaunan hijau kelor campur daun licin, ditaburi beberapa tangkai kembang pepaya muda.Kebiasaan nenek jika makan jagung tua yang direbuskan  dengan cara di hancurkan melalui kayuan katumbu terbukti jauh lebih nikmat bagai legit,walau alat penggiling penghancur jagung sebenarnya tersedia di rumah.Kebiasaan nenek itu telah aku amati sejak  masih di Sekolah Dasar Negeri Warumbi-Matombura.

Orato indefie Arumani e….?“(“Kapan Tiba Arman ?”)Tanya nenek.

“Anaho arato ingka nene“.(“Baru saja saya tiba Nek” )Jawabku dengan nada suara lemas .

“Ale !!! Katolauno dua karangamu itu keda,mosaki gara?”(“Adu!!! betapa kurusnya badanmu,lagi sakit  yah ?’’)Tanya nenek terheran- heran bercampur kaget atas peristiwa sakitku  itu.

Raut wajah ,nafas nenek terengah-engah  yang serasa kelelahan itu,ia lantas mengajaku untuk naik makan dan menyarankan mengambilnya sendiri di dapur, selagi sayurnya masih hangat  “bisa memberikan kesegaran tersendiri dalam tubuh yang habis sakit”.Nenek berusaha meyakinkanku.

Ketika aku masih kecil,bahkan sebelum masuk Sekolah Dasar .Sebagaimana Ibu  sudah ditinggal  Ayah,maka saat itu pulah-lah hidup kami bagai anak ayam yang kehilangan Induknya, nenek itulah yang menampung kami,bersama Kakek La Dandi dengan sabar menuntunku untuk bersekolah.Memenuhi perlengkapan sekolahku,membelikan seragam Merah-Putihku,Memberikan asupan karbohidrat-lauk pauk-sayur mayur yang cukup.Apa yang Kakek dan Nenek Konsumsi,itu pulah yang mengisi lambung kosong kami bersama Ibu.Hidupku sejak lahir hingga menyelsaikan Sekolah Dasar, bahkan berkat dua kasih sayang Kakek “La Dandi dan Nenek Wa Mpalasi” itu,akupun bisa menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri Warumbei di Matombura.

Didesa, aku begitu merasakan kedamaian, penuh ketentraman,seta melepas segela rasa rindu  qalbuku pada alamnya, dimana aku pernah menghabiskan masa kecil di sana .Lebih lagi kerinduanku pada Wakuru , disana pula aku bahkan pernah mengenyam pendidikan menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertamaku.

Mengingat saat-saat mengayuh sepeda Ontel Tua dari desa  Lianosa kini menjadi desa Watondo ke Matombura.”Apakah tidak lebih baik aku minta pindah sekolah saja ke Wakuru” Sejenak aku diam membatin.Entahlah nanti difikirkan lagi,aku ingin menikmati liburanku dikampung bersama ibu,adik-adik,juga ayah tiriku yangg sudah kuanggap sebagai ayah kandung sendiri.Termasuk nenek satu-satunya yang tersisa, keturunan terakhir leluhur Ibu.

Sepuluh hari berlalu mengahabiskan libur sekolah di kampung, tiba saatnya memasuki hari masuk sekolah untuk kembali ke Kota Raha.Aku memutuskan menempuh perjalanan melalui Wakuru,hari itu aku sekedar ingin mengobati kerinduan di rumah dua nenek tua, kala aku pernah tinggal bersama mereka menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.Setiba di Lianosa, menaiki tangga gubuk yang hampir reot beratapkan jerami berlantaikan belahan bambu,berdindingkan anyaman bambu.Ternyata hanya ada satu nenek yang lebih tua,tak bisa melihat namun ketika mendengar ritme suaraku seolah tak asing ditelinga ia.

“Ihintu Aruma?”(“Kau Arman ?”)tanya nenek tua yang berusia satu abad itu.

“Umbe,inodi”.”Nando opandehakanau gara ?”(“Ia saya,masih kenal saya nek ?”)tanya saya

“Pamandehaangko ini!.Atandai suaramu pada!.Aluminpuhaomo hintu???“(“Manalah mungkin saya akan melupakanmu! Saya tahu persis suara itu ! Tentu Itu suaramu???”) Jawab nenek tua itu dengan suara bernada riang,seolah ia baru saja menerima kedatangan putra semata wayang setelah pergi sekian tahun  tak kunjung pulang.

“Nehamai Wa Kaana?”Aku dengan penasaran penuh tanda tanya.
(Wa Kaana merupakan nenek tua yang merawat dan menjaga nenek tuna netra itu)

“Nokala wae daowa”jawab nenek Tuna netra dengan suara pelan

Tanganku segera mengarah pada  kedua tangan nenek itu,sebagai salam pamit diri izin kembali ke kota Raha.

“Madaho foratoe barangka Wa Kaana eh”,amansuruanemo kadeki wae Raha barangka,madaho tora amai phobe kapalei”(Kalau begitu nanti diberitahu saja pada nenek Wa Kaana,mengenai hal kedatanganku”nanti saya kemari lagi jika tak ada halangan) .

Seraya aku mengucapkan salam pamit diri, lantas  mematung  berdiri dibibir jalan dengan  tas di pundak.Sejurus kemudian aku menghilang bagai siluman masuk kedalam angkutan pedesaan yang sering seliweran melewati jalan provinsi menghubungkan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna.

Dalam angkutan pedesaan perjalanan ke Kota Raha,kedua mataku sesekali mengamati dari jendela, nampak samar rumah-rumah penduduk yang ditumbuhi aneka tanaman hias dibawah  rimbunya pohon asam (Sampalu)dan teduhnya pepohonan kelapa di setiap pekaranganya.Demikian menundkan jiwa dan mengetuk hatiku.Sebuah perenungan yang taramat seduh sepanjang jalan dari Tongkuno hingga Lawa.Jiwaku seolah terpana oleh panah asmara bunga cinta”  Hatiku tak kausa ingin kembali tinggal pada gubuk reot dua nenek tua itu lagi”.Tapi bagaimana prosedurnya agar bisa terwujud, aku masih berstatus siswa Sekolah Menengah Atas Negeri Tiga Raha.”Biarlah lekas sampai di Raha aku  pikirkan kembali”Aku kembali membatin.

Hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang,rumput-rumput ilalang diatas bukit mengering , dedaunan  berguguran,pohon asam sampalu yang hampir memenuhi pekarangan Sekolah Menengah Atas Negeri Tiga Raha, hanya menampakan reranting bersama dahan-dahan tanpa daun , buah kering tampak bergelayutan, pertanda buah asam telah bermetamorfosis pada tahap pematangan, siap untuk di panen bahkan  perut kosongku akan segera menampungya.Sebab sedari pagi gigiku sudah demikian ngilu membayangkan sepotong asam masuk ke celah-celah liang gusiku. Angin yang berhembus dari tepi laut bergemuruh menghempaskan dedaunan kering hingga beterbangan tanpa arah  , makin menambah suasana keheningan di SMAN Tiga.Para Siswa-Siswi di hari pertama masuk sekolah baru ada separuhnya.

Terkadang asam-asam itu demikian menggodaku,ingin segera meraihnya  ,lantas memetik beberapa biji.Kulitnya yang mulai mengering seumpama menarik daging udang memisahkan  dari kulit arinya.Gigi ngilu, air dibawah lidah segera berliur tertelan masuk ke dalam kerongkongan.Aku tak kuasa segera membenamkanya kedalam goa lidahku.

Senin di pagi hari yang cerah,seluruh  siswa-siswi berbaris rapi.Para dewan guru dan sang Kepala sekolah diatas podium berdiri takzim ditengah baris-berbaris seluruh hadirin.Tunduk khidmat sejenak,sang saka merah putih  naik melambai-lambai berkibar pelan ke langit biru, iringan hymne Indonesia Raya bergema mengikuti  panduan suara oleh kelas Tiga-A .Petikan demi petikan senar gitar  acoustic berpadu lagu makin membawa nuansa pengibaran sang saka pagi itu serasa memberikan semangat  perjuangan yang tak mengenal henti bagi semua hadirin.

Terutama aku dan kawan-kawan, sebagai seorang pelajar dari kampung pesisir,masa depan bangsa ini ada ditangan kami-kami. Para dewan guru yang merupakan pendidik kami yang tak pernah mengenal  lelah,telah kau pancarkan seribu lentera ilmu yang tak tahu di arti karenamu,kami bisa membaca dan menulis karenamu, kami jadi tau beraneka macam ilmu.Kau adalah bah pelita penerang dalam gulita malam, jasamu sungguh tiada tara, dan Kepala sekolah sang nahkoda kapal bahtera rumah itu,ia lah  pengendali kemudi kemana arah kapal kami dan di tepi samudra mana kami akan berlabuh lalu melempar jangkar kehidupan ini.kami menggodok diri menjadi manusia –manusia yang diharapkan oleh para pejuang.Kita adalah turunan bangsa pejuang tak ada kata lelah dan menyerah.

Aku berdiri mematung diantara barisan, paling belakang,bolah mataku  sedari tadi menoleh kesana-kemari, berkeliaran memerhatikan ratusan wajah yang berdiri tegak.Adakah wajah “Juju “disana? O ia, rupanya ada.Baiklah cukup.Aku harus melupakanya.Karena sesungguhnya aku tahu perasaanku padanya hanya cinta monyet.Mengagumi alakadarnya saja.”Toh dia juga belum tentu ada rasa itu”.”Lupakan…!”Lupakan …! Aku berjanji pada diri sendiri.

Selepas sekolah,seperti biasa usai makan siang mengerjakan yang menjadi tugas-tugasku,menyetrika hingga waktu petang ,mengepel,menyapu dibelakang dan pekarangan rumah.Setiap hari memang lumayan mengucurkan keringat.Rumah itu memiliki luas hampir seukuran tanahnya.Opsi satu-satunya ya sabar,namanya juga anak sekolah dalam proses menempa pendidikan,ya risiko apapun tinggal dirumah orang harus berlapang dada membawa diri sebaik mungkin.

Dirumah itu hidup dua keluarga besar.Penghuninya demikian banyak seluas rumahnya,ada menantu,ada mertua,ada banyak cucu,ada ipar,ada anak tinggal lain dan sebagainya.Jumlah mereka tak lebih dari keseblasan pemain bola.Beragam insani bernaung dirumah itu ,tentu juga ada saatnya perbedaan sudut pandang,cara berpikir,cara bertindak,maupun cara mengambil keputusan.Adakalanya antara mertua dan anak mantu memiliki saran dan perintah yang berbeda pula buatku sebagai anak tinggal,kadang saya bingung,mau mengikuti perintah yang mana?Mau menolak perintah mertua,eh dia yang punya hak lebih kuasa dirumah itu.Bagaimanapun anak mantu hanyalah orang yang  seumpama benalu.Menumpang hidup layaknya saya,meskipin anak mantu itu adalah memiliki hubungan darah dekat denganku.

Pada suatu pagi saya kesiangan bangun subuh,anak mantu yang menjadi keluarga saya itu menyarankan  tak usah mencuci piring.Sebaiknya mandi lalu kesekolah.Saya tahu ia risau jika ke sekolah saya akan terlambat.Tidak dengan prinsip saya,saya orangya sedikit keras dalam berprinsip,saya malu jika tak menyelesaikan kewajiban saya sebagai anak yang menumpang hidup tinggal dirumah orang lain.Saya tetap ngotot mencoba menyelesaikan mencuci piring-piring kotor itu,lalu kesekolah.Tak lama anak mantu yang juga keluarga saya itu menyahut saya dengan teriakan namun bernada bentakkan.Sayapun tak terima, darah saya serasa mendidih,lalu meneriakan “mengapa engkau memaksa saya kha,saya malu jika ini tak selesai,ini tanggung jawabku”.Sontak dia pun emosi dan melontarkan sumpah serapah agar hari itu juga “dia yang angkat kaki dari rumah atau saya sebagai anak tinggal yang pergi meninggalkan rumah”.

Saya gemetaran antara menyesal dan kesal pada diriku sendiri, kedua bola mataku tak kuasa ingin menumpahkan air mata,suasana makin membingunkan pikiranku.Saya mandi,lalu bergegas kesekolah. Diatas jalan raya antara Batalaiworu dan Sidodadi,kedua mataku tak henti-hentinya menumpahkan bulir bulir Kristal beningya.Kedua kakiku seolah mengayuh-layang di udara,jiwaku bagai kehilangan tubuhnya,aku makin tak gentar “ko bisa jadi begini?  Inikah namanya kesalahan tak bertepi,tiada pintu maaf disana ? Lalu,apa artinya kata maaf dihadirkan dalam kamus kehidupan ini ?Bukankah Tuhan berpesan melalui agama,memberikan ampunan dosa pada setiap umatnya  dengan taubat.Demikian tegahnya kah dia pada saya anak kampung  tulen ini yang belum mengerti apa-apa .

Langkah kakiku yang tergopoh-gopoh dibibir jalan bercampur aduk kepedihan, setiba di sekolah berkali-kali aku membasuh muka agar tak menampakan air muka yang tersakiti, bagai jiwa yang terhianat cinta, kehilangan harapan.Disekolah aku banyak melamun,meyendiri,merenung,meratapi, menyesali apa yang telah aku lakukan.Penyesalan memang selalu datangya di belakang.disitulah kita sebaiknya belajar berfikir cermat sebelum bertindak.

Selepas sekolah tiba dirumah,perut kosong-melompong,bayangan nasi hangat dan ikan goreng demikian nikmatnya, seragam putih abu-abu yang melekat dibadanku baru saja ditanggalkan  hingga terlupa jika pagi tadi  aku sudah melakukan  kesalahan  amat fatal.Datang sebuah seruan pesan singat,padat dan terdengar tegas “Jika aku tak segera angkat kaki waktu dan hari itu juga dari rumah,maka ia yang keluar”.Rupanya ia masih marah,baiklah aku yang salah.Sebab inilah konsekuensi atas perilaku saya sendiri.Hari itu saya mengemasi semua pakain dan buku-buku,tapi saya bingung dimana saya harus bernaung,belum lagi makan tidurnya,mandinya, besoknya dan seterusnya?.

Sesaat pamit diri untuk pergi,saya mencoba memohon maaf padanya, saya tahu ia demikian berat menerima kata maaf yang terucap.
Seolah dendam kesumat masih ada disana.Selangkah meninggalkan rumah,suara panggilan datang dari mertuanya”Nak Arman sabar saja,saya bingung nak !!Mana yang akan saya lepaskan,sedangakn ia istri dari anak saya”.Sang mertua perempuan mencoba membesarkan hati saya.

Entahlah hari itu saya meninggalkan rumah membawa buku-buku dan satu tas ransel penuh,hampir tak bisa kugantungkan dipundak saya.Meghabiskan petang menjelang malam mencari tempat berteduh  yang tak jauh dari rumah mereka. Bagaimanapun tak banyak keluarga atau kenalan untuk numpang bernanung semalam.Satu-satunya gubuk kosong lama tak berpenghuni milik orang wakuru,orang dilingkungan  itu biasa menyebutnya mamanya Ryzki merupakan tempat yang tersedia bisa menaungi badanku dari hujan yg berjatuhan dikolong gelapnya langit, angin laut yg berusaha memporak-porandakan benda-benda apapun yang dihinggapi dan embun malam seakan menyayukan mata agar tidur lebih cepat .

Rasa laparku telah sirna seketika, seolah tertelan oleh kabut senja dimalam purnama dalam pelita ketabahan beserta keyakinanku.Betapapun pahitnya  berbagai rintangan,perjuangan harus tetap berjalan,tak boleh kalah,takkan pernah ada kata menyerah  dalam kamus hidupku.

Gubuk yang aku diami  lama tak berpenghuni,pemiliknya yang tinggal di daerah berpulu-puluh kilometer dari tempat itu, sebab alasan tugas sebagai seorang pengajar menjadikanya rumah itu sekian lama tak tersentuh.Terakhir yang saya tahu sekira enam bulan berlalu guru mengajiku juga pernah tinggal disitu.Kadangkala sehabis melaksanakan tugas rumah tangga sebagai anak tinggal,kala malam jumat tiba menjelang isya sekelompok anak-anak belajar dilingkungan itu amat rajin termasuk aku, yang paling dewasa dari kelompok anak-nanak itu.lalu ikut kelompok itu jika tugasku dirumah sudah beres.

Tiga malam aku berdiam digubuk itu,pada kenyataanya sebagai mahluk hidup yang juga perlu makan untuk bertahan hidup.Sebab aku merasa malu untuk terus-terusan menunggu tawaran tetangga agar dapat sepiring nasi dengan lauk sayur tertentu.Teman sebangku kelasku yang bernama Sukardi dari desa Marobhea mengetahui kondisiku setelah aku berkisah padanya,lalu ia menceritakan berbagai hal tentang diriku padaTuan majikanya, dimana ia juga sebagai seorang anak tinggal ,namun karena luasnya kebun kelapa disekitar rumah dan banyaknya rutinitas harian sebelum kesekolah membut pekerjaan terlalu menumpuk bagi ia seorang diri.Majikanya sepakat untuk mengajakku ikut tinggal bersama mereka.

Rabu sore selepas sekolah saya  pinda tinggal dengan nuansa baru,pembagian tugas telah kami sepakati.Aku dan sukardi.Tugas ia dibagian lapangan ; membabat ilalang yg menggulma dikebun kelapa nan luas itu,menyuci mobil setiap pagi,memberi makan ternak unggas dibelakang rumah.Sedangkan saya bertugas memasak setiap pulang sekolah,mencuci diakhir pekan setiap sabtu pagi,menyetrika di minggu sore.serta mengisi bak mandi hingga penuh dgn mengangkat air menggunakan dua kaleng cat 15 kilogram dari sumur belakang rumah .Hari libur buat kami tidaklah sebebas seperti anak-anak lain yg dimanfaatkan dengan berbagai hal seperti pergi memancing atau hal lainya yg menyenangkan.”Ini adalah bagian dari pendidikan!”pesan Sukardi serius.

Masalahnya adalah,kala itu musim kemarau panjang “elnino”sedang terjadi dikepulauan pesisir muna daratan,mengambil air dari dalam sumur di belakang rumah merupakan pekerjaan kuli kasar,pabila tangan menggotong dua kaleng cat besar berisi air kanan kiri 30 kilogram dengan pontang panting menapaki tebing curam,Sumur itu hitam,berlumut, gelap,dan menakutkan.Diameternya kecil,dasarnya tak kelihatan saking dalamnya,seolah tersambung kedunia lain,kesarang makhluk jadi-jadian.Beban hidup terasa berat sekali jika disore hari atau pagi buta harus menimba air dan menunduk kedalam sumur tua dalam belukar nyaris tak tertembus cahaya matahari itu.

Apabila  malam tiba, rumah yang kami diami itu serasa di belantara hutan amazon, gelap gemerlap dinaungi cahaya rembulan dibawah bisikan syair dedaunan seperti dalam lagu ‘Rayuan pulau kelapa.” Jika saya sedang membisu  ,semilir angin sepoi-sepoi berhembus melalui celah dinding kamar dari arah laut teluk pulau buton, yang membela kota raha – Maligano, hingga ke ereka  terusan kekota kendari ibukota provinsi Sulawesi tenggara .

Satu-satunya rumah membumi dalam hamparan kebun kelapa yang luas menjulang kelangit Kampung Sidodadi ,persis kanan jalan poros Raha-Tampo,jika perjalanan kita mulai dari titik kota raha menuju Tampo.Jangan cari rumah itu dibibir jalan,layaknya rumah-rumah lain yang selalu berada tidak jauh dari bibir jalan raya atau paling juga jauh 15- 20 meter  .Sebab rumah itu tak pernah ada  disitu ,ia seumpama rumah yang mengasingkan dirinya jauh dari  hiruk –pikuk mesin kendaraan yang menderu-deru bergemuruh  memacu kecepatan .

Rumah itu memisahkan dirinya, bagai orang yang terasingkan karena wabah,masuk kedalam menembus teduhnya pepohonan mahoni,kira-kira dari jalan besar 600 meter. Fakta bahwa tuan kami  Pak Azis Enda, mewarisi tanah dari leluhurnya dengan hamparan kebun kelapa luas tak terperikan.Seperempat kampung  Sidodadi, sisi pantai hutan bakau menjulur hingga ke pasar Laino bahkan hampir menjadi miliknya.

Ia juga tak pernah berminat merupiahkan buah kelapa itu,untuk mencukupi kebutuhan hidup.Justru membiarkan penduduk sekitar memektiknya. Apabila dahaga menggorogoti kerongkongan keringku , jika tugas bersih-bersih usai, kala petang  mulai menenggelamkan sang surya di ufuk barat, cukup  menerobos belukar sedikit jauh dari rumah agar aktivitas pesta pora kelapa muda itu tak akan pernah ada yang tahu .

Mencari pohon yang tak demikian tinggi,lalu menjatuhkan setandan.Dari ilmu mengembara ala primitif yang saya peroleh tempo hari di SMP Lawama ketika masih tinggal bersama dua nenek tua menyarankan”pilihlah dan jatuhkan kelapa,yang apabila diketok dengan kepalan tangan,dengung padatnya serupa mengetok kepala sendiri.”Demikianlah pesan dari nenek yang masih tergiang dikepala  saya.Hasilya memang akurat,tandan-tandan kelapa yang saya jatuhkan selalu berisi muda,airnya segar terasa manis.Daging kelapanya licin bak “papeda atau kapurung atau sinonggi dari bahan sagu”makanan khas pedalaman Indonesia Timur.

Pada suatu pagi,Sukardi yang menjadi sahabat kelas 1-C di sekolah, juga tinggal sepanaungan bersama , dibawah satu atap kediaman Pak Aziz Enda.Tiba-tiba menghentakan pikiran saya bertalu-talu,kaget sedemikian hebohnya.Tanpa menduga-duga ia telah pamit izin untuk pulang ke kampung halaman selama beberapa hari, karena alasan orang tua ; ibu satu-satunya yg dipunyai sedang sakit keras. Terbiasa dengan kondisi dimana rutinitas  rumah selepas sekolah,  kami selalu bahu-membahu mengerjakanya, kini aku harus menyelesaikanya sendiri.

Sejak kepulangan sahabat seperjuangan saya itu,kekampung halamanya, desa Marobhea .Setiap hari aku menanti,bagai seorang menanti kepulangan kekasih menunggu berjam-jam berhari-hari berganti bulan di beranda teras rumah duduk termenung berpangku dagu datas tangan.Jika saya menyetrika, sembari memalingkan kepalaku mengintip dicelah jendela kali saja ia datang.Namun,penantian-tinggalah penantian.Kepergian Sukardi kekampung halaman dengan dalih izin beberapa hari  sebab orang tua sakit,ternyata hanyalah  trik jitu agar memperoleh kata “dibolehkan” pulang.Ia tahu dan familiar dengan sikap tuan kami itu,betapa rumitnya izin berlibur kekampung halaman walau sejenak.Hampir dua bulan berlalu,lantas saya mendengar kabar, bahwa Sukardi telah pindah sekolah dan menetap di Makassar bersama kakak laki-laki tertuanya yang  menjadi prajurit TNI.

Hari-hari yang dibayangi dengan kejenuhan,belajar tak bisa focus,sebab selepas sekolah sampai dirumah pekerjaan demikian banyaknya menantiku.Ke Sekolah sekedar melaksanakan kewajiban sebagai anak didik pada orang tua .Meskipun nilai raporku saat itu tidak buruk-buruk amat.Sebab saya masih mencapai peringkat sepuluh besar, yakni urutan pertama hitung mundur.Pada rapor saya hanya ada satu angka “Summa Cum Laude”.Bukan pada ilmu eksakta Matematika atau fisika, karena otak saya tidak seencer  BJ.Habibie atau A.Enstein .Kepala saya demikian padat, terlalu sering diketuk menjadikanya pembading dengan padatnya kelapa  muda.

Setiap siswa-siswi di SMU Tiga Raha kala itu, tak sulit mendapatkan nilai sangat sempurna,sebab Ibu Guruh agama yang terkenal murah hati itu memberikan nilai 10 itu cukup mematuhi beberapa syarat “shalat 5 waktu rutin  dirumah dan di masjid plus tidak pernah bolos bidang studi yang dibawakan beliau-ikut ulangan triwulan”maka nilai agamamu tak usah kau risaukan mendapat angka 7 atau 8.Itu mutlak kemurahan hati seorang guru pada anak didiknya,sebab ia tahu kecerdasan agama tak mesti diukur pada  kecakapan konkrit ilmu eksakta.Sebab,berbicara religius adalah mengenai perilaku baik dan patuh kepada sang pencipta,sesama manusia,tanah air,dan lingkungan alam.

SMA Tiga Raha dengan keunikanya sendiri ,di sekolah itu banyak bertemu beberapa anak ‘hende bughou’yang tersebar di pesisir kepulauan Muna-Buton-Wakatobi.Ia lebih  lebih mirip sebuah universitas.Para pelajar  tidak melulu di dominasi oleh masyarakat sekitarnya.Tempat menggodok generasi penerus bangsa itu bertemu berbagai rumpun suku , ras,dan distrik di daratan kepulauan Muna : Wakorambu-Wawesa-Bonea-Maginti-Tampo-Lohia-Matakidi-Tongkuno-Lawa-Lasehao-Marobhea-Kambaara-Maligano-Wakorumba-Kulisusu-Wanci-Kaledupa-Wasolangka-Batalaiworu-Bangkali-Warangga-Masara-Kosambi-Lagadi-Mabodo-Guali dan lain-lain diluar pengamatan saya.

Bahkan ada dari kampung Bangsari (Transmigran Jawa),konon kampung itu demikian melegenda  sebagai pengrajin ukiran Gembol jati ternama di pesisir Muna kepulauan.Akar pohon tua konon pula melalui sentuhan tangan dingin mereka dapat disulap menjadi gembol   yang artistick,bertabur ukiran ikan hias bernilai ratusan juta.Terlihat disana bukan ukiran tangan biasa,pengukir nampaknya memiliki selera seni estetika yang tinggi.

Presiden Repoblik Indonesia Ke-2 HM Soeharto melalui protokoler kepresidenan ,konon  pernah memesan ukiran jati dengan tema” kisah perjalanan hidup dirinya, yang sekarang terpajang berderet takzim dalam Museum Purna Bhakti Pertiwi, yang didirikan oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi atas prakarsa Ibu Tien Soeharto. Museum yang berada di Jl. Taman Mini Jakarta-Indonesia. Museum itu merupakan wahana pelestarian benda-banda bersejarah tentang perjuangan dan pengabdian HM Soeharto dan Ibu Tien Soeharto kepada bangsa Indonesia, sejak masa perang kemerdekaan hingga masa pembagunan.

Sebagai objek wisata edukasi yang bermatra sejarah, museum itu juga menyimpan benda-benda seni bermutu tinggi yang diperoleh Bapak Soeharto dan Ibu Tien Soeharto dari berbagai kalangan dalam maupun luar negeri, baik rekan maupun sahabat sebagai cinderamata. Museum itu  memiliki koleksi kurang lebih 13.000-an, yang berhubungan dengan peran sejarah pengabdian HM.Soeharto .

Sebelumnya sebagian besar koleksi ini dirawat dan disimpan Ibu Tien Soeharto sebagai pendamping setia Pak Harto. Kemudian, Ibu Tien menyadari bahwa pengalaman hidup Pak Harto bukanlah hanya milik keluarga. Pak Harto adalah milik bangsa Indonesia. Maka, koleksi barang-barang pribadi dan cinderamata yang dimilikinya harus bisa dinikmati oleh khalayak ramai. Tentu, tempat yang paling baik untuk itu adalah di museum.Kita kembali ke gambaran mengenai SMAN Tiga Raha.Dan saya satu-satunya pelajar dari pelosok terpencil nan jauh  kampung Matombura.

Sisi designed gedung sekolah ini amat tua,bangunan lebih ke gaya Nusantara tempo dulu pasca kemerdekaan,ciri khas artistic bangunan seumpama rumah sakit tua di kepulauan Jawa-Pasundan-dan Andalas.Dimana menghubungkan antara ruang dengan garage berbentuk lorong beranda ,jika musim hujan atau panas tiba, para siswa dan guru lalu-lalang masuk keruangan kelas tanpa perlu kehujanan/kepanasan ,pada sisi lorong kanan kiri ada tempat aisle,biasa para siswa menghabiskan tempo istrahat duduk sekedar berceloteh di bangkuk panjang itu .Tak sulit mendapatkan tempat melepas penat,jika banyak pelajar berjubel di bale-bale pertanda jam istrahat  sedang berlansung,memandangi  lembah hijau berbukit-bukit demikian luas,di sisi belakang ruang laboratorium ada lapangan sepakbola di batasi tembok dengan  sungai yang mengalirkan air jernih membujur hingga ke tepi laut menembus bakau dan kebun kelapa tuanku pak Asis Enda.Pohon-pohon sampalu (Asam Jawa),jambu mete, kendodong bertebaran tumbuh dalam lingkup sekolah .

Di bawah pepohonan,  Rusa-rusa berkeliaran  yang sengaja dilepas ,seolah tak pernah kehabisan rumput ,kawanan rusa itu melalap rerumputan hijau yang tumbuh subur di pekarangan sekolah.Suaranya yang melengking seumpama di alam rimba.Di bawah pepohonan asam yang rindang sejuk itu,biasa ada sepasang pelajar yang kasmaran cinta monyet, sukanya dibawah pohon,sesekali jika kita perhatikan.Nampak pada wajah mereka seolah dunia hanya dimiliki oleh mereka berdua.

Sudah menjadi rahasia umum di kota Raha,tidak demikian pada kampung dimana pelajarnya berasal.Jika SMAN tiga Raha itu merupakan sekolah yang tak kebagian bangkuk di SMAN 1 -SMAN 2 -SMEA dan  SMKN .Atau lebih buruk lagi SMAN tiga Raha adalah Sekolah penampungan pelajar-pelajar yang memiliki tingkat Intelligence Quotient (IQ) rendah .Sering terjadi  sindiran berbau olok-olokan antara pelajar ketika upacara perayaan pengibaran sang saka merah putih 17 Agustus di kolong langit lapangan besar alun-alun Kota Raha yang menjadi Ibukota kepulauan Muna.

Tak  hanya itu,telah menjadi legenda di seluruh pelosok  Raha.Selain belajar di ruang sekolah yang amat jauh dari kota,siswa-siswi  SMAN tiga biasa  memanfaatkan waktu-waktu belajar untuk nongrong di pasar Laino.Entalah mereka disana berjualan atau sekedar menunjukan eksistensi diri.Masyarakat terbiasa memberi label SMAN tiga Raha demikian .Pelajar dan Masyrakat itu memiliki pandangan yang keliru,bahwa tujuan pendidikan yang di amanatkan dalam Undang-Undang sesuai kurikulum bertujuan menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas berdaya saing.

Kapas-kapas berwarna putih lembut  beterbangan jauh turun dari buah kering tua  yang merekah,   .Mengapung tinggi menyentuh nyiur melambai dedaunan kelapa di hempaskan angin,pertanda  musim panas (elnino) berkepanjangan itu akan segera berakhir.Beratus-ratus hektar luasnya kebun kelapa membujur di sepanjang pantai teluk  Laino terusan ke Tampo.Aku tahu bahwa kapas-kapas putih bersih suci itu menjadi penghibur bagi mataku,tapi tidak pernah menjadi perisai bagi jiwaku,karena sejak sebulan terakhir aku telah menjadi sekuntum dafodil yang gelisah.Sejak kukenal sebuah kosa kata baru dalam hidupku : Rindu.

Kini setiap hari aku dilanda rindu,rindu pada topografi kampaung halamanku.Aku rindu pada wajah hijau bentangan alamnya yang di aliri banyak anak sungai yang bermuarah ke danau,meski danaunya tadah hujan,aneka mahluk yang kaya protein didalamnya bergelayut menunggu jala atau kail.Aku rindu pada sepeda ontel yang dimiliki dua nenek tua,tempo menghabiskan masa pendidikan SLTP-ku di Tongkuno.Kedua kakiku tak kuasa untuk segera menaiki sadelnya.

Aku rindu pada keramahan sahabat-sahabat lama,aku juga rindu pada kesibukanku di akhir pekan libur sekolah, pergi ke sungai atau danau melempar jala,karako kenta kosa(menangap ikan)dalam lumpur ,memeras tuba meracun ikan yang bersemayam di balik teratai putih dan enceng gondok dibawah akar bakung

Serta rindu pada percikan kibasan gemercik air berbulir buih (nobhesi) yang lalu lalang dibawah air  menari-narikan kegirangan,merdeka sebab lama tak terjamah oleh pemburuh-pemburuh nutrisi,sempat beranak pinak,cucu,cicit bahkan telah membentuk kingdom of pisces.

Membayang di benakku. Jiwa dan raga itu seolah melempar jala membawa  pulang ikan lele mencukupi kebutuhan nutrsi “asam lemak omega3 ,omega6,vitamin b12,fosfor dan kardiovaskuler.Nutrisi tersebut menurut para pakar kesehatan ahli gizi memiliki manfaat :

Menjaga kesehatan jantung dan otak manusia terutama anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Fosfor yang terdapat pada ikan lele yang mencapai hingga 167 mg/ 100 gram terbukti lebih tinggi daripada telur yang hanya mempunyai kandunga 100 mg.Fosfor bermanfaat untuk memberi energi dalam metabolisme lemak dan pati, oleh karena itu hal tersebut mampu menunjang kesehatan gusi dan gigi, membantu sistesis DNA. Kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang ada dalam ikan lele setara dengan  ikan salmon. Ikan lele mampu memberikan pasokan 220 mg asam lemak omega-3 serta 875 mg asam lemak omega-6.

Para peneliti telah menemukan manfaat  lain asam lemak omega 3, yaitu mampu membantu menurunkan tekanan darah. juga dapat membantu menjaga kesehatan kulit, terutama dari ekzema dan dermatitis, serta dapat membantu dalam pembentukan cerebral cortese otak.

Kandungan omega-3 yang terdapat pada ikan lele sangat baik untuk membantu proses mempercepat penyembuhan luka pasca operasi. jadi aku tak pernah ragu  untuk mengkonsumsi ikan lele lebih banyak dan sesering mungkin.

Kadang-kadang aku sambil menggotong dua ember air dari sumur belakang,melamun sendiri,dadaku sesak sepanjang waktu.Aku segera mengerti, bahwa aku adalah anak yang dibesarkan ditengah rimbah dan aku sangat mengerti bahwa aku adalah typical laki-laki  yang tak kuat menahan  rindu.

Setalah melalui pengkajian berbagai strategi,akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa di obati dengan segera mungkin pindah sekolah kembali ke kampung halaman.Sekarang,tinggal bagaimana  prosedur  dan mekansime  mengajukan permohonanya ke sekolah, serta meminta izin pada tuan saya Pak Aziz Enda.

Terhantui dalam pemikiranku ,ketakutan mencekam dengan suara tuanku yang keras menggelegar  guruh disiang bolong.Belum lagi biaya angkutan urus ini itu,menunggu waktu yang tak pasti.Terbayang di fikiran sehatku “untuk melakukan niat baik buat saya sendiri,  namun dengan cara yang salah : Kabur”

Usai mata pelajaran  pertama di sekolah,aku mengambil langkah seribu, lari terbirit-birit mengemasi pakaian dan buku-buku dalam satu karung goni bekas,lalu menulis pesan pada selembar kertas kemudian kutempelkan di pintu kamar :

Mohon Maaf Sebesar-besarnya Pak/Ibu,

Bersama tulisan pesan singkat ini,saya sampaikan, bahwa hari ini dan seterusnya saya telah kembali kekampung halaman.Dan kemungkinan melanjutkan pendidikan sekolah saya di sana.

Terimakasih,

Arman

Kabur dari rumah ke jalan raya menembus  semak belukar. Bukan jalan yang seharusnya.Pikiran saya dihinggapi ketakutan kalau-kalau ada salah satu orang rumah yang pulang.Karena hari itu tuan saya sedang di kantornya : Dewan perwakilan rakyat daerah Muna.Ibu sedang mengajar di SD Sidodadi,empat anak-anaknya sedang ke sekolah.

Distrik Tongkuno,Tahun 2001

Tatkala kedua kakiku sampai ke Tongkuno,raut senyum kebahagiaan mulai terpancar dari wajahku.Air mukaku tak lagi pucat pasi,senyumku menebar pesona tentram penuh damai,Seumpama burung yg  di lepaskan kembali ke alam bebas oleh majikanya,setelah dikurung dalam sangkar amat sempit bertahun-tahun, si Kakatua berjambul putih ke emasan merasakan kebebasan tak terperikan.Bumi yg luas hamparan zamrud bertaburan menanti untuk menjamahnya.Teduhnya pohon beringin bergelayut buah biji-biji matang di belantara hutan Lambusango pulau Buton bagai oase yg menghidangkan beraneka kekayaan sumber karbohidrat yg takzim tersaji.Hari ini ia akan bebas berkelanan mengibaskan sayap, dibawa bintang-gumintang kemanapun kehendak di negeri antah berantah .Hari itu aku bagai keluar dari sel tahanan setelah sekian tahun dalam kurungan jeruji besi.

Kedatanganku di gubuk dua nenek tua ,disambut hangat dan penuh ramah tamah.Saya banyak berkisah, merekapun demikian mengerti setiap apa yg aku utarakan.Tempo hari kebetulan ada putra bungsu nenek ,baru pulang dari tanah rantau.Ia juga sangat memahami jika kedatanganku kembali ke Tongkuno ingin melanjutkan pendidikan saya,termasuk ku utarakan juga, bahwa tak ada surat pindah dari SMA Negeri tiga Raha yg kubawa kala itu.Jika SMA Negeri satu Tongkuno mewajibkanku surat pindah dari sekolah asal,sebagai syarat diterimanya saya, tak menjadi soal.”Tetapi beri saya waktu untuk mengumpulkan ongkos pengurusan pulang pergi kekota Raha-Wakuru. Termasuk ongkos ojek dari terminal pasar Laino ke SMAN 3 Raha.”Gumam Saya.

“Begini saja,coba cari tahu apakah pak La Kode, guruh Bahasa Inggris mengajar di SMA Negeri satu Tongkuno,rumahnya di Lahontohe didepan PT.Sekar Alam,masuk lorong dari jalanraya tak terlalu jauh.Temu dia saja sore-sore.Bilang saya adiknya Samsuddin atau La Godje.”Saran putra Bungsu nenek.

Aku sangat memahami, sebab putra nenek ini juga alumni SMU Satu Tongkuno di masa orde baru pada dekade sembilan puluhan.Entah angkatan tahun berapa? yg jelas, ia ini pasti kenal sama Pak La Kode guruh sang Bahasa Inggris itu.

Tak perlu menunggu lama, sore hari aku datang ke kediaman beliau dgn mengayuh sepeda ontel,membawa rapor dari SMA Negeri tiga Raha.

Tok…tok…tok…!
Assalamuallaikum….!

“Wa’alaikum salam,suara dari sebrang pintu”

“Silahkan masuk !”,Ibu-ibu berhijab hitam seusia Ibu saya,mempersilahkan.

Mengutarkan maksud kedatanganku pada Ibu itu,sejurus kemudian Guru bahasa Inggris yg masih aktif di SMAN tongkuno itu keluar dari ruang lain kediamanya yg masih dalam tahap pemugaran.

Peretemuan singkat itu berbuah manis,aku berhasil diterima dan ditempatkan dikelas Dua -B.
Meski tanpa surat pindah dari sekolah lama, pada akhirnya aku tak lagi merisaukan berbagai hal kelanjutan pendidikanku.Esoknya saya disuruh masuk,betapa beruntungya aku, ternyata kelas Dua- B perwalian kelasnya juga beliau.

Hari pertama masuk sekolah di SMAN Satu Tongkuno,aku merasa kikuk bercampur riang gembira,karena disana aku bertemu teman masa kecil SD Warumbei di kampung Ibu –Matombura.Selain itu pula, ada sahabat semasa SMP Lawama .Seperdua dari jumlah seluruh siswa dalam kelas,demikian asing dimataku.

Pak guru yang menjadi walikelas Dua-B memintaku untuk maju didepan  kelas,sebagaimana pada setiap murid baru diminta memperkenalkan diri. Beliau duduk disudut depan kelas mejanya membolak-balik lembaran demi lembaran raporku.

“Wah …Nilai agamanya sempurna ini”.Pak Guru meberitakan.

Sontak semua siswa kelas Dua- B pagi itu terbelalak.Saling adu pandang antar muka.

“Kok bisa?”serentak menggema penuh tanya.

“Applause dulu dong buat teman baru kita!!”Seru ketua kelas.

Aku yg didepan kelas berdiri jenaka mematung melihat tawa riuh teman-teman kelas,hanya bisa cengar-cengir mirip kebo disawah menunggu tuntunan sang petani.

“Ayo perkenalkan dirimu!”perintah pak guru

“Nama saya Arman,pindahan dari SMA Negeri tiga Raha.Lahir di Matombura, sebelas Maret satu sembilan delapan empat.Saya anak pertama dari lima bersaudara.Berdomisili di desa Watondo-Lianosa.Demikian atas perkenalan singkat ini”

Aku begitu tersipu malu,lekas aku kembali ke tempat duduku yang berada  urutan meja ke dua dari belakang sisi pinggir sudut kanan ruangan kelas Dua-B.

Caturwulan kedua menjadi siswa baru di sekolah itu,celanaku tak lagi jubrai,sebab  ada teman kelas di Raha tempo hari sebelum aku pindah  menawariku untuk membelinya.Ia berhenti sekolah lantaran tersendat biaya.Penghasilan Ayahnya sebagai buruh nelayan tradisional pesisir tak mencukupi berbagai hal kebutuhan pendidikanya.Ia memutuskan sebaiknya berhenti dan turun melaut membantu ayah mencukupi keperluan dapur sekedar untuk bertahan hidup.Sebagai bentuk keprihatinan sesama sahabat, meski uang sakuku juga tipis, aku beli celana   bahan  itu.

Balutan kakiku nampak cunghai,karena sepatu  itu satu-satunya yang layak aku pakai,merupakan warisan benda bersejarah  putra nenek  yang masih tersimpan apik di loteng gubuk  reot kami itu.Mereknya Puma.Warna yang hitam buram kulit dasarnya kaku jumaku,jika aku mengayu sepeda ontelku ke sekolah memperlihatkan pesona anak desa yang lugu dan polos.

Seragam putihku nampak lebih necis bergaris lancip setelah kurendam dengan cairan pemutih tiga hari tiga malam,lalu kuselurupkan setrika kuningan antik  menggunakan pemanas bara api tempurung kelapa.Walau masih ada sedikit kutu-kutu hitam, penampilanku di SMA satu Tongkuno memperlihatkan, bahwa aku memang lebih pantas disebut murid baru pindahan dari kota Raha.

Hari berikutnya aku ke sekolah,walikelas dua-B mewajibkanku untuk menyerahkan pas foto dua kali tiga setengah badan.Mata pelajaran ketiga hari itu aku izin untuk tak mengikuti proses belajar mengajar, aku naiki sadel  ontelku mengayuh sepeda  berpuluh-puluh kilometer menuju Wakumoro.sebab tak ada gerai foto saat itu di Tongkuno selain Wakumoro .

Di SMA negeri satu Tongkuno aku merasa nyaman, sehingga semangatku untuk menuntaskan pendidikan kembali  bergairah.Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya,tenang dalam kesahajaanya,bermartabat dalam kesederhanaanya dan tentram dalam kemiskinanya.Lebih dari itu, kegairahanku juga terdorong oleh rasa kekagumanku pada seorang gadis berambut tomboy, berkulit sawo matang bermata kenari muda bermuka oval,  tinggi semampai, tatapanya serius.Terlihat ia merupakan  sosok wanita memiliki tingkat kecerdesan yang tinggi di kelas itu.Setiap derai gerak langkahnya seolah tak pernah  luput dari pengamatanku semenjak aku masuk di hari pertama.Setiap  hari aku bersuka cita,tak sabar menanti pagi agar ke lekas ke sekolah.

Ayam jago berkukuruyuk nyaring bersahutan dengan anjing yang melolong, menangis memekik-mekik  di ikuti suara azan subuh yang menggema di cakrawala distrik Tongkuno.Minggu menjelang pagi itu, kabut masih bergelayutan di udara dan pepohonan tamarindus indica .Rumah-rumah penduduk nampak samar,tiga-lima orang berkain sarung melingkari api di pekarangan atau lingkungan rumah sekedar  menghangatkan tubuh melawan embun pagi .Kebiasaan penduduk  sekitar sebelum beraktivitas atau ke sekolah terbiasa menghangatkan badan, bagai segerombol orang yang sedang melakukan perkemahan dengan api unggun ditengah lingkaran.

Sepeda ontel-ku kukeluarkan dari kolong gubuk,usai menghangatkan badan ,aku bergegas menaiki sadel sepeda itu, menuju kampung emak.Menempuh perjalan  dua puluh kilometer.Aku begitu girang dengan membawa beberapa buah kelapa tua yang telah memiliki pucuk tunas.Pikiranku : “sangat keliru kelapa-kelapa tua yang telah memunculkan pucuk tunas itu, layu begitu saja tanpa dibudidayakan dikebun-kebun kosong yang masih terhampar luas di kampung emak”.Sedari kecil aku memang sudah berpikir perencanaan masa depan yang baik.Ketika masih mengenyam pendidikan di SLTP puluhan tahun yang lalu,aku demikian telah melakukan berbagai hal-hal kecil yang bisa memberikan  jaminan masa tua  yang lebih baik.Baik itu untuk orang tua-maupun diriku sendiri,seperti:”apabila libur caturwulan tiba,biasa aku berkeliling didesa-desa disekitaran distrik Tongkuno”

Mendapatkan bibit-bibit tanaman berbuah seperti : nangka salak,mangga golek atau harum manis, dan buah kelapa tua memiliki pucuk tunas  yang dapat aku bawah ke kampung.Lalu menghadiakanya pada Ibu dan Ayah tiriku” Senyum bahagia terpancar dari wajah keriput mereka  saling bertatapan muka.Sebagai anak akupun demikian bahagia,merasa kehadiranku dalam keluarga itu, tak sekedar menjadi beban keluarga, tetapi merasa lebih berarti, sebab dapat memberikan ide dan perencanaan hidup yang lebih baik sebaiknya dilakukan sedini mungkin.

Minggu menjelang sore itu, aku  kembali ke Wakuru.Sepeda ontel-ku  melewati jalan berbatu-batu di Wangkoromea,Desa Wale-ale,Karumbu Laga,kemudian baru bertemu jalan aspal  di Labasa .Tak peduli dengan gengsi aneka sayuran,juga ada : singkong,jagung tua buat kambose, labu muda  tergantung di kemudi sepeda .Kedua kakiku terus mengayuh mendayu-dayu melewati jalan. Dua nenek tua di Wakuru begitu senang menantiku membawa sedikit cadangan karbohidrat.

Jika pagi ke sekolah, aku tak pernah peduli dengan gengsi,tetap membawa tunggangan sepeda. Sebagai seorang pelajar tulen dari kampung, sepeda merupakan satu-satunya kendaraan praktis murah dan dapat mengefisiensi waktu untuk datang lebih tepat saat itu.Adakalanya, aku mengikuti sekelompok pelajar dari desa Lakapera ,yang juga mengayuh kaki menunggang sepeda .

Kendaraan bermotor saat itu mulai ada,namun hanya ada satu-dua bagi  kalangan yang mampu seperti perantau dari negeri Jiran dan PNS. Atau seperti anak-anak lain dari Lianosa,Watondo,Lawurake,Lahontohe,Tembeua,Danagoa,Tombula dan Rumbia lebih senang mengayuh kaki secara bergerombol atau berpasang-pasangan seperti halnya di SMAN tiga Raha.Sedangkan siswa-siswi dari Sumpuo-Wakumoro-Kulasa dan Walengkabola, sebab sedikit  jauh,mereka menggunakan angkutan pedesaan yang setia mengantar di pagi hari dan menjemput disiang hari, kala anak sekolah mulai pulang.Itu lah masa sekolah, masa dimana seseorang mulai memasuki fase remaja.Aku menyadari seusia itu telah tumbuh rasa suka pada lawan jenis.Setiap orang mengalami kematangan usia remaja di usia itu.

Di kelas Dua-B, aku kian terobsesi pada si gadis pemilik rambut tomboy.Semakin lama hari berganti bulan, aku makin mengagumi kecerdasanya.Sering pula ia mengikuti kompetisi olimpiade fisika di kota Raha, saat itu pulah diam-diam rasa simpatik bercampur cintaku makin tak terperikan padanya.

“Betapa cerah masa depan jika saja suatu kelak ia menjadi wanitaku”aku membatin terpaku disudut kelas.

“Ciieee….ciieee…..yang suka sama si jangkung pintar ???”Ejek Surihae.

“Ternyata diam-diam, si Arman murid baru suka juga????”Suharti ikut membenarkan.

Aku sebenarnya malu,sebagai siswa baru di kelas  nampak begitu beringas,tak mengerti sopan-santun,terlalu mudah jatuh hati.”Padahal kan  masih perlu beradaptasi?”.Cewek mana coba yang tak gentar??? Kadang aku menyadari hal itu,jika gadis berpikiran cerdas itupun juga  enggan  mau menerima kidung-kidung cinta yang aku tuliskan melalui secarik kertas yang aku kusutkan dalam kepalan tanganku, lalu aku lontarkan menghentakan badanya yang duduk takzim persis berada di meja paling depan.Pejaran baru saja di mulai,Pak guru juga belum membenamkan pantat teposnya di kursi.Aku demikian tak tahu diri.Kuperhatikan dari jauh”kertas gulungan kusut itu terpelintir oleh kaki sepatunya sambil terus menginjak memutarkan kaki sejadi-jadinya.Aku menyadari kertas itu ikut  hancur bersama kekosongan harapan cintaku.

“Aku belum berhasil…”

“Aku mesti terus mencoba”

“Meski cinta monyet”

“Kekagumanku padanya telah sampai pada tahap sudah keterlaluan”aku merenung di sudut kelas,di antara siswa-siswi yang sedang berjibaku aktif belajar-mengajar oleh Pak Ramsi.Seolah aku tak mempedulikan orang-orang disekitarku,cinta kadang membuat segalanya tampak indah.Seperti dalam ungkapan puisi,bayangan ia begitu mengharu biru di benaku, laksana bumi kering yang merindukan siraman hujan sehari,setelah di terpa kekeringan berbulan-bulan.

Suara riuh rendah siswa-siswi berjejal di seluruh beranda kelas,kantin-kantin,di bawah pohon-pohon dongkima,juga masih ada yang tetap melanjutkan belajar-mengajar hingga Pak Saaji telah melakukan tugas rutinya, memukul bell dengan dentuman nyaring yang bertalu-talu, menembus tembok-tembok sekolah.Pertanda jam istrahat telah tiba.Aku dan Thamrin Marobo “sudah terlampau lewat sabar,ingin lekas bertemu Kepala sekolah,lalu menyampaikan ide kami “Ada baiknya di SMAN satu Tongku di adakan Jurusan Bahasa.”

Sebagai pelajar yang kurang cakap ilmu eksakta, dan tak begitu menaru minat pada ilmu pengetahuan sosial.Aku berkali-kali melakukan sebuah perenungan mendalam,terkait dengan kelanjutan jurusan nantinya dikelas tiga.Sebab tak lama lagi ujian caturwulan terakhir dikelas  bulan.

“Kira-kira kita ngomongya bagaimana?”Sambil merapikan seragam putih-abu-abunya. Tamrin bertanya.

To the point ajalah;”Setelah melakukan pengamatan,dan minat kita hanya pada jurusan bahasa”jawabku.

Penuh keyakinan dan rasa percaya diri,kamipun memasuki area kantor.Menembus ruangan kepala sekolah tak mudah,karena terlebih dahulu kita melewati  ruangan Wakil Kepala Sekolah.

“Selamat pagi bu…!”

“Kami bermaksud ingin bertemu Bapak Kepses”Aku bertanya pada Ibu Nurhayati.

“Apa keperluanya?”Tegas Ibu Nurhayati

“Tidak  begitu penting bu”

“hanya ingin memberikan inputan, mengenai hal”

“Tidakha di SMAN satu Tongkuno juga bisa menghadirkan jurusan Bahasa?” Thamrin  menjelaskan.

Menghadapi Ibu Nurhayati, kami serasa di interogasi oleh kepolisian,semua pertanyaan bertubi-tubi bernada tegas terlebih dahulu kami terima.

“Lain waktu jika ingin bertemu Kepses,lapor saya dulu”

“Harus buat janji,dan perlu saya saring “,”aturanya begitu”Ibu Nurhayati kembali menjelaskan.

Aku bersama Thamrin,sahabat sebangkuk dan semejaku di kelas Dua-B itu,hanya bisa planga-plongo, hampir mematahkan semangat kami untuk bertemu Kepses.Aku terus membesarkan hati sahabatku sepemikiran itu.”Kalau bukan kita,”siapa lagi “.Perjuangan jangan terhenti,ini adalah lobang-lobang kecil yang tak perlu kita lewati.

Tak dinyana.Ibu Nurhayati akhirnya mengindahkan permintaan kami.Setelah berbagai alasan pentingya kedatangan kami itu, atas alasan rasional yang kami uraikan .Kepses Pak Laoede Puteh saat itu sangat welcome dan terbuka”.”Serta mengapresiasi gagasan yang dapat memberikan SMAN satu Tongkuno mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lain,bahkan beliau sangat mensupport.Namun aktualisasinya tidak semudah itu”.Semua perlu support dan izin pihak Dinas yang terkait.”Kami segera mengerti,setelah mendengarkan penjelesan panjang lebar bapak Kepses.Hari itu perjuangan telah kami tunaikan,namun fakta bahwa, di Tongkuno belum memadai untuk dapat menghadirkan jurusan bahasa,sebab keterbatasan berbagai hal,termasuk salah satunya kekurangan tenaga pendidik.

Musim penghujan berlansung sepanjang hari pada pertengahan Februari di Wakuru, yang menjadi pusat distrik pemerintahan Tongkuno itu. Kolam-kolam ikan dalam lingkungan sekolah meluap terisi penuh.Ilalang-ilalang mulai menjulurkan juntaian daunya hingga ke tepi kolam,katak-katak nampak bermunculan diatas teratai,  dan ikan-ikan bersama kawanan berudu mulai gemercikan diselah-selah enceng gondok. Sekolah itu  lebih layak disebut rawa basah.Sebab tanah dibawah rerumputan hijaunya,air-air mengalir demikian bening dan menyejukan.Jika usai kegiatan gerakan bakti siswa(gebasis) tak susah-susah amat untuk membasuh muka atau tangan.Air segarnya yang dingin mengagetkan rasa kantukku tatkala mulai menyerangku di waktu-waktu belajar.

Batang-batang pohon bambu berdecitan,dedaunanya  yang amat  tipis menjuntai melambai-lambai karena kibasan angin,seolah menyambut kepulangan saya dari sekolah.Suasana di rumah dua nenek tua tempat aku tinggal,nampak hening.Nenek sedang tidak dirumah,barangkali ia sedang ke ladang.Penghuni gubuk reot hampir roboh itu hanya ada nenek tunanetra yang setia menjaga rumah.Sesekali hanya terdengar  tenggorokan gatal  yang berdenging keluar dari ruang  dinding anyaman bambu ,mempertegas sang nenek tua tunanetra menderita batuk akut .Aku baru saja pulang sekolah,mengintip periuk-periuk hitam yang bergelantungan di loteng-loteng dapur tungku,ada kambose ngkogoga (biji jagung tua)yang direbus tanpa kapur disana, jika kita mengunyah maka kulit-kulit ari nya takkan hancur oleh kuluman mulut dan usus. Juga ada sayur daun bayam bening yang sudah bermetamorfosis menjadi kuning pucat.Aku  dan dua nenek tua kian terbiasa mengisi lambung kosong kami dengan makanan serupa.Terlihat gigi mereka belum ada yang tanggal,sebab gigi mereka terbiasa ditempa oleh kerasnya gambir  dan sumpalan tembakau bersama daun sirih.

“Padamu ofuma Aruma ?”sapa nenek tunanetra, sambil duduk  diam ditempatnya sudah hampir enam puluh tahun.

“umbe, anaho apadaane watua”jawabku

“negau hae itu Wa Kaana ?”ia menyapa lagi

“eh…negau  o..pae bhe kenta moniwano”hahahahahahahaha!!!!!!! aku terbahak-bahak  mencairkan suasana bisu senyap dan sepi di gubuk itu .Konon  nenek tua tunanetra tersebut telah berusia lebih dari satu abad.Kadang aku banyak mendengarkan kisah-kisah hidupnya dimasa penjajahan berambut jagung masih mengusai wilayah Nusantara.Aku bahkan,larut dalam  ceritanya yang penuh hingar-bingar kehidupan masa lalu.Ia tahu, bagaimana “tentara-tentara NIPON menderu-derukan pesawat tengah malam melintasi kebun-kebun kaum pribumi”.”Jangan coba menyalakan lampu petromak”,”jika gubukmu tak ingin dihujani muntahan bom atau peluru”.”Bagai hujan linggis beringas menghentakan atap-atap jerami penduduk”.”Serdadu-serdadu jepang sedang melakukan pengintaian”,”memburu orang-orang yang berambut jagung”.Kala itu,  perang dunia dua mulai pecah dengan masuknya Jepang ke Indonesia megambil alih kekuasaan Ratu Belanda,Wilhelmina.

“Jika orang-orang Belanda itu membangkang”,”samurai berkilat-kilat dalam senyapnya malam menebas kepala-kepala mereka”.Bagai sebuah ayunan parang melayang menimpas batang pisang.Seketika darah meluap-luap bersemburan ke empat penjuru,kepala terjatuh bergelentingan di tanah.

Tanpa sadar aku banyak belajar sejarah, dari buku hidup itu,adakalanya. Aku menggali lebih dalam setiap cerita-cerita yang ia gambarkan.Semua detil tak ingin aku lewatkan,aku terus bertanya.Disitulah cikal bakal “diam-diam aku menaruh minta besar pada sejarah bangsa ini.Setiap kisah yang ia ulas,aku terpana bagai mengamati seorang mahaguru sekaligus saksi sejarah hidup yang terlupakan.Kedua tanganya tak bisa menulis,namun sepotong otak dengan jutaan sel yang masih tertanam di rangka batok kepalanya,mampu menyimpan berpuluh-puluh megabyte bahkan kilobyte  kisah sejarah perjalanan bangsa ini,di masa kolonial Hindia Belanda.

“Nenek tua itu”,”sungguh memiliki daya ingat yang amat tajam”aku terbawa pada pepatah klasik yang melegenda dalam dunia pendidikan :

“belajar diwaktu muda bagai melukis diatas batu”,”belajar di waktu tua bagai melukis diatas air”.

 Aku meyakni nenek berusia senja itu,di masa belianya, banyak mengamati  dan merespon fenomena  di alam sekitarnya. Aku lalu mengambil sebuah hikmah pembelajaran yang mungkin takkan pernah kudapatkan di bangku formal pendidikan.Bahwa, “untuk hidup sehat dan berusia panjang”,”tak perlu kemewahan materi ” atau “dengan bergelimang harta”.Hidup berdamai dengan alam,sesama mahkluk,mengukuhkan hubungan dengan pencipta lebih dekat. Itu terlampau jauh lebih baik, dan menjadi tujuan hidup yang sesugguhnya.Barangkali ia tuna,bertahun-tahun tanpa bisa melihat .

Tuhan telah mengampuni semua dosa-dosanya.Itu adalah buah pembelajaran yang aku peroleh dari nenek tua yang buta,namun di balik kebutaanya ia tak pernah sedikitpun mengemis atau meminta belas kasihan dari orang lain atau keluarganya sendiri.Ia hidup dari buah-buah kelapa dan pohon-pohon bambu dari hasil tanamanya sendiri sebelum usianya senja.Pembelajaran dari nenek (bukan yang tunaaksara) : “Semua putra-putranya dari lima kakak-beradik itu”, “mereka menyelesaikan pendidikan dengan hasil keringat  perjuangan nenek sendiri (Ibu mereka)dari hasil buah-buah mete yang bertebaran di ladang kala musim paceklik tiba.

Sebagai anak yang menumpang hidup di gubuk nenek,aku banyak belajar dari mereka mengenai perilaku hidup yang membahagiakan orang tua-keluarga.Berkelana ke tanah rantau  membawa diri sebaik-baiknya,rendah diri serta memiliki welas asih kepada sesama.Demikian aku banyak mengamati pada kehidupan keluarga nenek tua itu,hingga menentukan cara aku memandang dan bertindak

Burung pipit berkicauan di tangkai-tangkai pohon kelor pekarangan rumah,burung gereja baru saja melintas pada sudut atap jerami gubuk itu ,sinar mentari  lembut muncul di ufuk senja, menembus celah-celah pepohonan kelapa  desa Watondo.Aku tertegun,bangkit dari baringku,  sebab nyanyian sayu-sayu yang samar terngiang diujung daun pendengaranku,suara syahdu nan merdu itu  datang dari celah-celah dinding anyaman bambu gubuk kami ; ternyata Radio Philips  kuno tetangga  sedang mendendangkan senandung daerah  :

INA KOEMO MOGHAE

Ina koemomoghae

Tarunsamo nokala ana amaku

Pandehanekato kumoidi salentehku

Mina amandehane amaku

Ina koemomoghae 

Pasumo luu…mu

Aneo moghae nobhela laloku

Tasabara mo ina 

 

Koemomoghae…ina ta…sa..baramo…ina

Tarunsamo idi anamu

Tarunsamo idi anamu

Sodjhu maganiko

 

Nohala bhara inaku ompu 

Aku djhosa bara inodi ini

Koemo siksa inaku

Koemo siksa inodi

Ampuni kanau djhosaku

 

Senandung daerah itu demikian syahdu,sehingga aku terbawa pada perenungan atas perjuangan dua nenek itu,meski tanpa seorang suami di usia senja,demi masa dan waktu yang akan datang termasuk kelanjutan pendidikan keempat putra-putranya telah mengantarkan pada suatu titik keberhasilan.Tak muda membentuk karakter anak lelaki,tetapi tidak untuk nenek itu.Putra nenek pertama menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Haluole ,dan bekerja sebagai seorang guru  pula di Kendari,meski ia seorang pengajar ia tetap ulet menjual berbagai hal kebutuhan sembako bersama sang istri di pasar baru kota Kendari.

Putra kedua,  setamat SMAN satu Tongkuno ia merantau mengumpulkan pundi-pundi rupiah ke negeri jiran,rumahnya saat ini berdiri megah di kampung Tombula-distrik Tongkuno.Putra ke-tiga kini menjadi seorang nahkoda kapal -kapal besar yang melaut hingga ke berbagai penjuru negeri.Sedang putra ke-empat nenek bernama Samsuddin (La Goje), juga jebolan SMA satu Tongkuno, kini ia juga mengikuti jejak sang kakak yang menjadi nahkoda kapal.

Tiba-tiba suara  Yamaha Force-one menderu-deru di kaki tangga,kuintip  melalui celah kecil dinding.Ada seorang lelaki  berperwakan menyenangkan, tatapanya tajam,berdirinya tegas,pembawaanya ramah ,tutur katanya meyakinkan,bicaranya pelan nan lembut. Tergambar ia merupakan anak didikan bukan orang biasa.”Barangkali orang tua nya sangat teliti dan bersahaja”aku membatin,sehingga seluruh keluarga itu demikian ramah , begitu teduh, nampak  rukun,tenang,penuh cinta damai.

Nuansa rasa tentram keutuhan keluarga itu sangat menyenangkan.Penuh kehangatan.Jika aku sedang mengayuh atau menuntun sepeda ontel-ku tanpa sengaja melintasi jalan raya halaman rumahnya,mereka selelalu memintaku untuk mampir walau sejenak.Seruan untuk makan dan berbagai hal kebaikan ada saja dari mereka.Yusuf Hantoro sedang turun dari tunggangan sepeda motor roda dua-nya.Aku segera tahu,ia datang menengoku lalu menawarkan untuk bertandang ke kediaman mereka,memetik buah salak di sekitar pekarangan rumah,lalu pergi bermain bola sepak ke lapangan-lapangan setempat yang tak terlalu jauh.Sejak  hari itu, bahkan aku sesering mungkin main kerumah mereka.

Rabu menjelang dini hari,pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam fisika babak pertama baru saja usai,aku yang sedari tadi hanya duduk diam sambil bersenandung rindu di sudut kelas.Sedang yang lainya  mondar-mandir semerawut kesana-kemari tanpa tujuan yang jelas menunggu pelajaran berikutnya,mereka gelisah bagai  anjing  yang kepanasan melolong disiang bolong kelaparan terengah-engah.Kuperhatikan gadis si pemilik lesung pipit,berkulit hitam manis ,berpostur jangkung yang menjadi pujaanku itu juga serius membolak-balikan buku catatanya.

Seolah ia sedang sibuk mempersiapkan berbagai hal rumusan masalah dan kendala penting yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan.Ia seumpama peneliti  merisaukan hipotesisnya  sendiri,  tak kunjung terpecahkan selama belum di uraiankan secara gamblang oleh sang profesor.Kadang aku mengawang-ngawang sendiri sambil memperhatikan dengan seksama dari belakang mejaku,meski  ia di bangku paling depan duduk membelakangiku,sudut mataku selalu mengikuti gerak-gerik bahasa tubuhnya.Bola matanya bak seorang peri dari kayangan,aku lihat kerling  disudut retina matanya bergelinding kesamping .Aku segera tahu, ia menyempatkan melirku.

Tak kuasa,aku segera ingin memberinya setangkai mawar kuning yang kusimpan dibawah laci mejaku, sejak embun pagi mengintarinya terlebih dahulu.Jiwaku seolah terbang ke langit biru mengawan tinggi mengharu biru   melalui sekuntum kuning kemuning yang aku titipkan  padanya melewati tangan seorang sahabat seruangan.Entahlah mawar itu kapan sampai di tangan ia,yang aku tahu kemudian,  tersiar kabar  melalui nyanyian berhembus dari pita suara -suara teman di kelas Dua-B.Aku malu,tapi rasa kolot bercampur lugu itu segera ada penawarnya.Terobati dengan sampainya  titik-titi cinta   yang aku tiupkan bersama tangkai mawar kuning yang ia terima.Hari itu, jiwaku makin terang-benderang setelah mengalami hampir dua musim dalam kabut dingin malam yang gelap.Tak ada purnama mengintari kitari minda yang sunyi.

Selapas sokolah di gubuk nenek,aku bergegas ke ladang mete mengumpulkan reranting dahan kering ,memenuhi geladak sepeda ontelku  yang kuikat rapat hingga membumbung tinggi diatas sadel.Nenek yang menugguku tak sabar ingin segera menjaring air lalu menyeduh beberapa teh hangat di senja hari,kala udara dingin musim hujan menghembuskan angin dingin membuat perut meronta-rontakan kehangatan dari seduhan minuman panas.Dapur nenek lama tak mengepulkan asap setelah beberapa hari pergi ke Kota Kendari membesuk sang putra sulungnya.Aku yang selama ini mengantungkan kebutuhan lambungku di dapur kediaman pak Supu Alimin.Mengurungkan niatku untuk meniup bara api di tungku dapur  gubuk nenek .

Minggu pagi di bulan juli,bukan di musim paceklik kacang mete ,sejak malam aku mencemaskan kewajiban di sekolah,mengenai iuran : Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) juga iuran Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan.Dini hari, aku ke rumah sahabat kecil di masa SLTP Lawama,aku hanya menjumpai  Jamal.lalu membicarakan  maksud  rencana perjalanan panjangku ke kampung Bapak di pesisir desa  terapung, Wa Burense .

“Amal,ada yang punya motor bisa disewakan ?”tanya saya serius

“Kita tunggu La Ole saja”,”dia masih ke  Walengkabola bersama Bapa”Jamal menandaskan raut muka kesal, sebab kepergian mereka sejak pagi buta,tak kunjung kembali.

“Saya mau ke Mawasangka,kampung bapaku,ada keperluan penting” aku menjelaskan dengan nada sedikit terburu-buru.

“Sewa motornya La Kaliu saja,tapi bisanya ketika ia menyudahi aktivitas ojeknya di pasar “Jamal menyarankan dengan raut wajah penuh kegirangan.

“Tapi saya boleh ikut yaa!”,”kali saja di sana, kita bisa menyambi liat-liat kalambe?????”Ha…..ha….ha…ha…ha….ha…”Jamal melepaskan tawa bernada gurauan,namun aku menyikapi secara terbuka dalam renungku”Bahwa sukur jiklau kau bersedia ikut denganku,itung-itung buat teman menyusuri jalan ratusan kilometer.

Tornado ,sepeda motor suzuki besutan pabrikan Jepang yang kami tunggangi itu memiliki prinsip kerja mesin  dua langkah piston atau satu putaran poros engkol dalam satu siklus kerja, dalam mesin dua tak pada motor itu terasa lebih banyak melakukan pembakaran,sebab dari satu kali gerakan naik dan satu gerakan turun dari piston hanya melakukan dua kali langkah kerja dalam satu kali langkah usaha ,  sehingga mengepulkan asap-asapnya begitu banyak bak cerobong pabrik PT.Sekar Alam Wakuru mengolah kacang mete pabila di musim paceklik.

Perjalanan kami start dari Lahontohe,melewati Labasa-Lakapera,pertigaan simpang sebelum Lombe,menempuh  arah  kanan jurusan : Lolibu,melintasi Lasongko,Moko,Teluk Lasori dengan nuasa  pantai landai  yang biru nan eksotik .Sepanjang perjalanan dari Lakapera-Lombe menuju Mawasangka kami disuguhkan dengan pemandangan karst dan hutan rimbun pepohonan mete. Perjalanan itu kami menikmati beberapa objek wisata seperti permandian Kampolele (Desa Mone Kec. Lakudo) dan perjalanan pada bibir pantai Desa Mone-Lolibu.Jembatan panjang Desa Batu Banawa yang sangat memanjakan mata juga permandian Goa Oe Maamba di Teluk Lasori.

Pesisir pantai di bibir teluk yang dikelilingi air laut, pulau itu menjululur laksana kuping gajah dengan lubang curam ditengah dari batuan karst, jembatan kecil diatasnya. Hamparan pasir putih tumbuh menjulang pohon kelapa diatas pulau kecil tak berpenghuni itu, hanya ada rumah petani rumput laut, lapangan, mesjid tua yang sepi, dipenuhi rumput didalamnya, beberapa makam dan kapal karam didepannya. Sangat memanjakan mata.Menikmati teriknya panas siang hari dihamparan Teluk Lasori, perjalanan kami lanjutkan menuju Mawasangka Induk yang berjarak kurang lebih tujuh puluh kilometer dari Mawasangka Timur.

Dalam perjalanan kami melewati Goa Permandian Maobu, Pertigaan Mawasangka Tengah, Bukit Karst Lalibu, bekas areal Benteng Wasilomata dalam sejarah Kesultanan Buton dikenal sebagai benteng pertahanan (Matana Sorumba)

Menyusuri jalan Mawasangka,menyempatkan mencari minuman. Jalanan yang tak rata mengocok perut hingga  membuat kami berdua dehidrasi . Menuju Pasar Bajo mencari sedikit makanan  khas Mawasangka Induk,sebagian orang mengenalnya dengan nama Bulu Babi, di Mawasangka Induk menyebutnya Tayo, pada cangkang yang berduri itu terdapat isi(telur)nya dari beberapa Bulu Babi dikumpul dalam satu cangkang Bulu Babi kemudian dibakar diatas bara api, membuat rasanya sangat nikmat,

Di Mawasangka Induk dikenal sebagai daerah perikanan dengan hasil yang sangat melimpah. Satu makanan khas yang selelalu aku rindukan adalah Kasoami Hugu-Hugu, berbahan dasar ubi yang sudah beberapa hari dijemur dan direndam sehingga mengeluarkan jamur hitam yang kemudian dipotong-potong agak halus lalu dikukus, yang disajikan dengan parutan kelapa muda.

Menarik napas sejenak di sore hari yang jingga,sunset di ujung pelabuhan Feri Mawasangka Induk yang jaraknya tak jauh sekitar tiga ratus meter dari bibir pantai, dengan sekantung Tayo (Bulu Babi), Kasoami Hugu-Hugu dan Peyek Ikan Teri, membuat sore itu menjadi sangat istimew setelah melewati perjalanan jauh ditemani angin laut yang teduh memandang dari dekat Pantai Pasir Putih Mawasangka bertabur hamparan pohon Pinus dan Kelapa, warga setempat menyebutnya Pantai Maliboro. Dari kejauhan Pulau Kabaena tampak  belahan puncak tinggi Gunung Sabampolulu dengan mahkota awan putih.

Jadwal keberangkatan dan penyeberangan didalam areal Pelabuhan Feri hanya tiga  kali dalam seminggu, maka sebagian warga setempat menjadikan areal Pelabuhan Feri ini sebagai tempat untuk berjalan-jalan dan menikmati sore hari saat matahari terbenam menyambut malam.Menu makan sore sore itu di rumah ayahku sangat memuaskan, berupa Cumi-Cumi parende dan digoreng dengan minyak kelapa murni,aromanya luar biasa menggiurkan, Ikan bakar disantap dengan Colo-Colo (Sambal), Tiram (Tihe), Tayo (Bulu Babi), Kasoami beserta Lapa-Lapa. Ibu Tiriku dan ayah terbiasa mengonsumsi sari laut ,termasuk semua warga suku Bajo yang tinggal di pesisir pantai Waburense hingga terusan ke Lasori dan Lombe.

Ada jalur alternatif untuk bisa menuju kampung ayah di  Waburense yang tak begitu jauh dari Wakuru, hanya dengan melintasi Wale-Ale,Matombura,Bone Kacintala Bone Tondo,Marobo lalu memasuki belantara hutan lindung kawasan Fotu yang membentang membela hutan bermata air jernih antara Marobo dan Mawasangka. Menembus gelapnya  hutan sepanjang tujuh kilometer dari jalan Raya Marobho serta rimbunnya akar pepohonan ,maka disitu lah kampung pesisir Ayah tinggal bersama Ibu tiriku, telah menetap sekian puluh tahun.Kondisi jalan dan hutan yang amat horror konon banyak terjadi perampokan dan pembunuhan di zaman kolonial,sehingga mengurungkan mentalku untuk melewati jalan itu.Hutan fotu konon pula.merupakan perbatasan kepulaun antara Buton dan Muna.Sisi Selatan terlihat samar pulau Kabena dengan pemandagan yang memukau indah dipandang mata bak lukisan dalama cerita dongeng.

Hutan fotu,demikian penduduk sekitar menyebutnya.Empat puluh tahun terakhir merupakan belantara hutan yang memiliki pepohonan besar dengan berbagai macam jenis taman botani tumbuhan tropis. Aneka sastwa liar yang menjadi ciri khas di hutan Celebes,di rimba ini pula ayah saya menggantungkan kebutuhan dapurnya berpuluh-puluh tahun bersama kawananya dari Tanah Bugis.Kerbau-kerbau liar yang masih tersisa terakhir di era sembilan puluhan, menurut cerita ayahku “pada suatu malam di musim penghujan yang dingin”, “ketika seharian bekerja melakukan pembalakan di hutan, ia memutuskan bermalam disana sebab sedang terjadi badai” .”Banyak pohon berbatang besar tak terperperikan tumbang ke seluruh penjuruh mata angina, tanpa arah melintang,kerbau-kerbau liar hitam bertanduk lengkung panjang itu lari tunggang langgang menghempaskan pohon-pohon kecil,ayahku bahkan hampir saja menghembuskan nafasnya yang terakhir, ketika berjuang menyelamatkan dirinya dari amukan kerbau-kerbau liar itu.

Sejak itu aku tak pernah bernyali besar untuk menembus hutan itu lagi,terakhir ketika masih kelas satu di SLTP,  bersama ayah menembus hutan gelap itu dengan sepeda motor trail.Kami berdua bahkan masuk ke perkebunan penduduk memetik buah pisang,buah pisangnya sampai masak di pohon,seolah tanpa seorang pun mempedulikan.Sebab penghuninya terlalu sibuk untuk mengurusi  yang lain.Ternak unggas, ayam  kampung dan ayam hutan bersahabat dengan damai ,aku berada disana merasa tak akan mati kelaparan.

Sebab semua sumber makanan dari alam demikian melimpah ruah.Mata air jernih mengalir dari celah lubang bebatuan dalam ladang pak Tani.Aku pernah mencoba secara lansung meneguk air yang keluar dari celah bebatuan itu,menurut ayah mengisahkan.Jika ia masuk hutan,selepas menebang pohon dengan alat chainshaw, kalau haus tak perlu repot untuk mencari air minum,hanya mengambil daun lalu menjulurkan tangan kebawah.Segarnya sumber mata air di hutan fotu bahkan mengalahkan diginya air di lemari pendingin ,tatkala air itu mulai mengaliri batang kerongkonganku.

Ayah pernah pula mengisahkan,konon kawanan kerbau-kerbau liar di hutan fotu telah melakukan migrasi besar-besaran ke Pulau Kabena di malam hari dengan berenang menyebrangi laut dalam teluk Spilman  . Spilman adalah nama dari jenderal Hindia Belanda pada masa kolonial yang kapalnya karam di laut dalam berombak ganas itu.Laut itu lah yang membelah mawasangka dan Kabena.Kerbau liar di hutan fotu saat ini telah  memasuki ambang kepunahan,sebab banyak di jarah oleh pemburuh-pemburuh daging  dengan ajak-ajak yang  melolong  sepanjang rimba .Ikan-ikan di mata air fotu sekilas menyerupai ular derik ,dengan buntut  seperti ikan lele nampak bercahaya di malam hari.Penduduk sekitar menyebutnya kenta sokili karena wujudnya lebih mirip ular yang meliuk-liuk di sungai yang berakhir ke muara. Disana perpaduan antara air tawar dan asin.

Perjalanan jauh kami ke kampung ayah, adalah sebuah tindakan nekat,tanpa perencanaanya sebelumnya.Menyewa kendaraan bermotor roda dua  terbayarkan dengan sekambalinya kami ke Wakuru . Membawa pulang uang yang mencukupi untuk berbagai hal keperluan sekolah saat itu.Ternyata ayah baru saja melepas beberapa kubik kayunya yang berbentuk balok dan papan ke pengepul setempat. Seumur hidupku kali itu pertama aku menerima uang dari ayah,sebelumnya bahkan tak pernah.Aku segera tahu sebab ibu tiriku yang baik itu berhasil membujuk rayu ayah, sehingga ia bermurah hati memberiku tiga lembar kertas  bergambar presiden Soeharto.

Tak henti-hentinya mengisahkan pada teman-teman di Tongkuno(Wakuru),bahwa kami baru saja melakukan sebuah perjalanan yang kami anggap tamasya kecil itu,aku dan Jamal demikian bersuka cita.

Pada suatu Minggu di Bulan Februari,akhir pekan aku memutuskan ke kampung Ibu di Matombura.Kampung itu sedang ramai berdatangan  berbagai penduduk sekitar,pengepul dan pedagang lalu lalang dengan  bergelantungan keranjang  rotan pada geladak  sisi kanan dan kiri sepedanya ,   rupanya musim  langsat di Matombura telah memasuki masa paceklik.Di atas pohon-pohon yang menjulang tinggi,butir-butir kuning pucat menanti untuk dipetik,aku melihat ke atas pohon-pohon langsat, ada lelaki paruh baya sedang mengantung sarung serupa sedang menggendong  bayi dalam sarung ,lalu di gantungkan di pudaknya.Kebiasaan penduduk memetik langsat seperti itu menjadi budaya di kampung,sebab jika memetik langsatnya dengan cara dijatuhkan,rasanya kurang manis dan sedikit kecut.Ada sebagian orang awam yang kurang memahami cara memetik tradisional itu,asal menjatuhkanya, bak titik-titik hujan   kerikil yang bertubi-tubi  menghujam ke tanah.Sehingga langsat tak selalu bertahan lebih lama,mudah busuk dan layu bahkan kecutnya minta ampun.

Tak ada kebun langsat yang dimiliki Ibu dan Ayah tiriku di Matombura,aku lantas mendatangi si Nenek.Kebun langsat nenek sangat luas ada di dua tempat.Salah satunya  yang di hutan Kaloloi,masuk dalam kawasan hutan  sedikit lebih jauh dari bibir jalan.Buahnya manis dan berbiji besar bak bola pimpong,namun tingginya tak terperikan.Hanya yang bernyali besar mampu melakukan panjatan ke puncak pohonya.Di kebun langsat itu, nenek biasa hanya memunguti buah-buah sisa yang dijatuhkan kalong,selebihnya ia menyerahkan pada setiap pembeli atau pengepul untuk memanjatnya sendiri dan melakukan kalkulasi setelah proses pemetikan usai.

Pada musim paceklik  : Langsat, Kacang Mete,atau jagung mulai menguning di ladang nenek,ia demikian  sibuk.Sejak ditinggal kakek La Dandi sekian puluh tahun yang lalu,semua rutininitas dilakukanya sendiri.Anak-anaknya  hampir semua di tanah rantau.Perjuangan nenek menghidupi dua cucunya Udin dan Ari, termasuk aku kadang  tinggal beberapa hari jika libur sekolah .Aku bahkan tak pernah melihat nenek mengeluh,kecuali ia mengeluh tentang hal sesak napasnya di malam hari ketika ia beranjak istrahat.Nenek Wa Mpalasi   selalu tampak kelelahan hingga di usia senjahnya,tetapi kerja kerasnya untuk mandiri tanpa membebani orang lain siapun juga.

Sore itu aku baru saja mengambil hati nenek,membantunya terlebih dahulu.Lalu  memohon dapat diberikan kesempatan untuk memanjat sendiri pohon langsat, yang ada dikebun tak jauh dari bibir jalan poros jurusan ke Bone Kacintala .Pohon langsat yang nenek tunjuk tak terlalu tinggi, namun biji-biji buahnya yang kuning pucat  tampak  bergelayutan dari bawah ,sepertinya buah itu lama tak tersentuh.Aku segera memanjatnya dengan karung bekas tepung tapioka yang telah aku persiapkan .Hasilnya lumayan lebih dari setengah karung,dengan hati gembira  sore itu pula aku lekas kembali ke Wakuru.Langsat itu tak sebijipun aku cecap,sebab aku akan membagi-bagikanya  pada teman-teman kelas Dua-B di SMAN Satu Tongkuno.Terlebih aku demikian bangga dan berbahagia,sebab melalui sekarung langsat , aku akan mempersembahkanya  pada sosok gadis si pemilik dengan berbagai kelebihanya itu. Anggap saja sebagai wujud kekagumanku. Hanya sampai disitu kemampuanku ,  memberikanmu langsat-langsat dari pohonya yang teduh nan tinggi, setinggi cita-citamu dan teduhnya cintaku padanya.Aku bahkan  terlampau semangat melakukan semua itu.

Senin yang tampak cerah,kabut pagi baru saja hilang  karena sinar mentari  mulai menembus daun-daun pohon mete di seberang sekolah.Aku baru saja menempatkan sepeda ku dibelakang rumah si tukang jahit.Mengangkat karung yang berisi langsat,lalu menyimpanya di sudut sekolah.Usai pelajaran pertama di kelas, segera aku hamburkan langsat-langsat itu,sekejap berhamburan seisi kelas berebutan langsat sambil meneriakan

“Woe,langsat….!! Woe,langsat….!!! Langsat…..!!! Teriak kegirangan, bergemuruh bak ditengah pasar yang tiba-tiba runtuh hujan lebat dari langit.Riuh rendah di kelas Dua-B hingga mengudang kehadiran kelas Dua-A yang persis bersebelahan tembok.”Ada apa ini?”…”Ada apa ini?”Udin terperangah bak orang  kebingungan penuh tanya ,di ikuti oleh Rafiq dari kelas sebelah tembok, lari mendekat terkekeh-kekeh.

“Siapa yang bawah langsat  kah ? “ tanya Rafiq

“Arman bawah langsat sekarung”,”lansung habis, barusan dihamburkan “Kata  La Ace  tiba-tiba di tengah keriuahan itu”ha…ha…ha…ha..ha….”Ketawa terbahak-bahak keluar dari tenggorokanku.

“Arman…! Man…! Man…! Masih ada langsatnya ? tanya  lainya yang tak kebagian berebutan .Alimaid segera mengambil karung  kain kosong yang tampak berubah warna penuh getah itu, lalu melegonya ke langit-langit kelas.Semua siswa-siswi di kelas demikian hebohnya berebutan langsat tak terkecuali si gadis berambut tomboy.Ia tetap mematung di balik mejanya dengan seribu bisu.Aku memerhatikan tak sebutirpun langsat menyentuh ujung jaringya.Ia mungkin type wanita yang skeptis,sukar ditaklukan   pada rayuan gombal atau basa-basi semata.Ia mungkin type wanita mengapresiasi sesuatu hal yang beraroma logika ,lebih pada sikapku mengungkapkan cinta padanya dengan membawa sekarung langsat,itu merupakan  tidakan teramat konyol yang pernah aku lakukan.Cara aku mendemonstrasikan cinta di mata nya,  mungkin juga sesuatu yang  primitif ,sangat agresif bahkan membosankan.”Sungguh tak pantas kau lakukan semua itu Arman”Aku terbuai pada lamunan singkat berdiri diam di bawah jendela.

Persahabatanku dengan Yusuf Hantoro,mengantarkanku pada  kedekatan secara emosional dengan keluarga itu kembali terbangun,yang aku tahu dari cerita nenek dan Ibu,mereka merupakan bagian dari garis keturunan keluarga besar Ibu ku  dari nenek Wa Mpalasi di rumpun Tongkuno .Pak Supu Alimin seperti dikenal dalam keluarga kami adalah kaum intelektual dan memiliki keluarga besar yang rata-rata kaum terpelajar.

Keluarga itu demikian hangat,ramah,rendah diri,hatinya bisa  ditawar : Ketika aku sekedar lewat atau mampir di kediaman mereka,kitapun diwajibkan makan.Rumah itu demikian teduh dengan kesahajaanya.Rumah yang daun pintunya selalu terbuka bagi siapapun berkunjung kesana.Pada  meja makanya yang ada di ditengah beranda dapur, selalu tersaji makanan sederhana sehat dan tentu selalu hangat.

Semua beranak pinak keluarga itu demikian teduh.Anak-anaknya memiliki sikap rendah hati,rendah diri.Meski mereka keluarga terpendang di distrik Tongkuno,dan tentu semua penduduk di sana aku yakin akan mengenal keluarga Pak Supu Alimin.Bukan sebab hidup keluarga itu kaya raya atau punya kelas social bangsawan.Tapi sikap welas asih yang semua ditanamkan kepada mereka,seolah sejak mengenal  alam semesta ini,jiwa-jiwa  mereka  yang mencerminkan keluarga harmonis nan bersahaja. Seumpama  mata air jernih  di bawah pohon beringin yang senantiasa mengalir tanpa henti,siapapun dapat memanfatkan air itu.

Desas-desus pengumuman kenaikan kelas hanya menanti hitungan jam.Ulangan caturwulan terakhir di kelas dua baru saja kami lewatkan dua minggu berlalu.  Thamrin Marobho,Andi Harsan,Ace termasuk aku  dan yang lainya terus  mondar-mandir   dilanda kecemasan yang tak berkesudahan.Membayangkan berbagai hal,  terjadi hal buruk  :tak naik kelas atau rapor-rapor kami akan dipenuhi beberapa angka merah.Kalaupun kami lulus, perkara di tempatkan pada program Ilmu Pengetahuan Alam atau Ilmu Pengetahuan Sosial tak menjadi soal,sebagaimana yang kami perlukan hanya kenaikan kelas dan tak merasa malu sebab tinggal kelas.

Pada Sabtu hari, disuatu senja  yang jingga menjelang Minggu malam di bawah cahaya purnama,semarak muda-mudi usia paruh bayah bergerombol melintasi tepi jalan provinsi kampung Lionosa -Watongo.Di sudut batas desa, nyanyian merdu biduan syahdu,tampak dentuman mega speaker  bergema bass,  menggebu-gebu di iringi oleh tarian joget dan lagu melayu yang rancak iramanya.Musiknya selalu enak untuk bergoyang.Maka begitu pertunjukan dimulai,penonton bergoyang perlahahan ,melenggok seolah penuh penghayatan .Lagunya selalu berlirik cengeng  tentang patah hati,tentang cinta bertepuk sebelah tangan,tentang suami yang selingkuh.Tak ada musik Melayu yang tak cengeng,terutama dalam pertunjukan acara joget tersebut.Aku berdiri diantara ratusan muda-mudi,berjejal terpaku menghayati lenggak-lenggok tubuh penari,seumpama sepasang kekasih yang di mabuk cinta tertembus panah asmara.Pasangan muda-mudi demikian menikmati  irama music melayu yang dipadu bersama tarian joget itu,makin jauh malam musiknya semakin asyik.Aku beserta sahabat-sahabat dari kampung pesisir tampak berbahagia, sebab pada akhirnya kami semua naik ke kelas tiga SLTA.

Banyak penduduk tua-muda,berduyun-duyun pergi ke sebuah pesta tarian joget kampung pesisir nun jauh dibatas kota,adalah sekedar melepas penat yang sekian lama bercokol dalam jiwa-jiwa mereka.Dua Nenek tua begitu memahami, aku telah bercerita pada mereka, bahwa tak lama lagi aku akan pindah tinggal kerumah Pak Supu Alimin yang bersahaja itu.Mereka pun demikian mengerti mengenai hal alasan pindahku yang mendadak.Meskipun demikian, sebab jarak kediaman Pak Supu Alimin dan gubuk dua nenek tua itu tak begitu jauh,sehingga aku tetap mengunjungi mereka sesekali.Mendengar untaian-untaian kisah klasik atas pengamatan mereka di masa silam.

 

Bersambung…

 

Situs yang Dikembangkan dengan WordPress.com.

Atas ↑