Tentang Sastra, Menulis & Sebuah Keberanian

Sastra adalah kemanusiaan yang berbicara dengan dirinya sendiri.

Menulis itu tentang melukiskan kebebasan perasaan, kedigdayaan dan keberanian dalam proses berpikir.

“Writing ia the painting of the voice.”(Voltaire).

Apa sebab sastra menjadikan orang berani?

Karena kekuatan sastra membentuk pola dalam membangkitkan karakter/mental seseorang.

Lebih lanjut, sastra juga memberikan ruang berekspresi yang tajam, mengajarkan manusia untuk lebih mengenal sebuah keberanian yang dibungkus dengan nilai-nilai etika dan estetika.

Dalam sejarah, Umar bin khatab dikenal sebagai sosok yang sangat mencintai sastra. Kemahirannya bersyair tak mampu ditandingi oleh masyarakat Jazirah arab di pasar Ukaz kala itu.

“Ajarkanlah sastra pada anak-anak kalian. Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani.” (Umar bin Khatab).

Demikian pula dengan Ali ibn Abi Thalib, juga seorang cendekia yang mencintai ilmu pengetahuan dan sastra. Kelebihannya bersastra tak diragukan. Bahkan beliau pernah berkhutbah tanpa menggunakan huruf alif. Padahal bangsa Arab sulit berbicara panjang tanpa menempatkan huruf alif didalam kalimatnya.

“Semua penulis akan mati. Hanya karyanya-lah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti”. (Ali bin Abi Thalib).

Kita akan di kenang setelah wafat, manakala membuat perubahan dalam bentuk apapun yang akan selalu di kenang oleh manusia di zaman itu dan selanjutnya.

Hartawan dikenal sebab kedermawanannya. Profesor atau ilmuwan peneliti dikenang sebab ilmu pengetahuan yang telah di dapatenkannya mengefisiensi salahsatu aspek penting dalam kehidupan ini menuju masyarakat tercerahkan. Pahlawan dikenang sebab perjuangannya melawan penjajah guna merebut kemerdekaan. Pemimpin dikenang sebab gaya dan perubahan kepemimpinan yang dihasilkannya. Lalu, bagaimana dengan kita yang bukan siapa-siapa? Bukan orang kaya? Bukan juga profesor? Bahkan bukan pahlawan? Lantas apa yang perlu dilakukan agar tetap terkenang oleh generasi berikutnya?

“Kalau kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah.” (Imam Ghozali).

Bahkan pendiri koran/Majalah Tempo merupakan seorang sastrawan Indonesia, yakni pak Goenawan Mohammad. Lewat karya sastra beliau
melakukan perlawanan dingin yang dapat melemahkan/melembutkan/menundukkan mental orang lain. Sastra adalah bait lembut yang mampu merobohkan keangkara murkaan.

Majalah/Koran Tempo seperti yang saudara ketahui, merupakan satu-satunya media yang berani menyuarakan kebenaran paling getol di Indonesia. Berani ngutak-atik getok aib pejabat nakal. Membuat karikatur ‘nyeleneh’ dan sebagainya.

Tidak lain dan tidak bukan, Buya Hamka, adalah seorang ulama besar juga seorang sastrawan cukup banyak melahirkan hikayat, bahkan novel yang sudah diadaptasi ke dalam beberapa film layar lebar dan salah satunya TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK.

“Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra” (Buya Hamka).

Pramoedya Ananta Toer merupakan tokoh sentral dalam sastra Indonesia yang dikenal dunia. Banyak karyanya diterjemahkan kedalam beberapa bahasa seperti Belanda, Inggris dan Jepang.

Bagi Pramoedya, menulis adalah sebuah keberanian, karena dalam menulis setiap orang dapat menuangkan pendapat dan pikirannya.

Sebagai seorang penulis besar, tentunya banyak kata-kata motivasi dari Pramoedya Ananta Toer yang menjadi panutan banyak orang, terlebih lagi buat kita yang bercita-cita menjadi penulis. Berikut diantarnya:
“Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan”.

“Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”(Child of all Nations).

“Kalau mati, dengan berani: kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita”

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”

“Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi”
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”

“Semua harus ditulis, apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna”

“Menulis adalah sebuah keberanian…”

“Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik”

Rujukan:

Dari berbagai sumber literasi/buku-buku koleksi dan internet.

Tinggalkan komentar

Situs yang Dikembangkan dengan WordPress.com.

Atas ↑