Tentangku

Tahun 1997 tamat SD, setelah 12 tahun petatang peteteng tidak jelas wara-wiri didesa Wale-ale, di dusun Matombura, Tongkuno, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Itu ke Sekolah belum pake sepatu alias nyeker. Buku sebiji. Seragam sepasang. Yang lusuh. Yang kumal.

Tahun 2000 menyudahi SMP 2 Tongkuno, tinggal bersama orang tua yang semua anak-anak nya berada diperantuan. Yakni, di ds. Watondo, kecamatan dan provinsi yang sama. Dengan segala keterbatasannya itu– saya malah kerasan hidup dengan damai penuh petualangan seorang bocah kampung layaknya anak desa.

Tahun 2003 menyudahi SMA 1 Tongkuno, di distrik dan provinsi yang sama pula. Juga tidak jelas, tapi pastinya saya berterimakasih kepada pak Supu Alimin dan sekeluarga yang berkenan menampung ku setelah kabur dari SMA 3 Raha. Saya juga berterimakasih kepada nenek tua yang sudah Almarhumah di ds. Watondo itu. Semoga keduanya ditempatkan disisi-NYA. Sesuai dengan purna bhaktinya. Aamiin. Sejak SMP saya demikian sudah terlampau dekatnya kepada keduanya bagai cucu dengan nenek.

Juli, September, hingga Oktober tahun 2003, selepas menerima ijazah saya berkeinginan masuk di Militer, Makassar, Sulawesi Selatan. Apalah daya cita-cita ingin menggapai bintang alih-alih gayung justru tak bersambut. Pupuslah keinginan itu.

November 2003

Merantau ke Kalimantan di belahan Timur nya, di Balikpapan. Berangkat dengan Kapal Motor Umsini dibawah bendera PT.PELNI.

Sesampai di Kalimantan kerja serabutan. Kerja Bangunan. Menumpang hidup pada kerabat jauh sekampung. Tinggal di Mushollah. Jalan kaki berburuh pekerjaan. Bekerja sebagai office boy dan lain-lain.

Singkat cerita, mulailah mengenal diller. Dan kerja di diller. Dari sana lah saya kemudian di godok untuk melakoni pekerjaan yang hari ini saya masih jalani.

2008

Kuliah di Universitas Balikpapan, atas beasiswa dari PT. Nusantara Indah oleh PT. United Mobil Internasional(Authorized Ford Dealler Kalimantan).

November 2003 s.d Januari 2018 di Kalimantan. Hitung sendiri berapa tahun bernaung di Kalimantan?

Awal(Februari) 2018, saya mulai merantau ke Jakarta. Saya tidak tahu yang dikata orang: ” bahwa Ibukota itu lebih kejam dari Ibu tiri”, bagi kami yang sudah biasa digodok dengan penderitaan, hal itu bukan lagi sebuah ketakutan, tapi menganggapnya tantangan hidup.

Di Jakarta, dari hasil kerja keras itu mulai membeli buku-buku dan sering menghadiri presentasi dan diskusi sejarah, bedah buku, kuliah umum dan forum-forum ilmiah lainnya yang dapat memperluas khasanah pengetahuan saya. Layaknya seorang pembelajar yang selalu dahaga terhadap ilmu, tentu merobah 360 derajat paradigma saya terhadap dunia.

Sebelumnya saya juga memang seorang ‘kampret’ militan, maka dari hasil pengamatan, pengalaman, dan pembelajaran di lapangan tersebut– tentu saja berlawanan dengan sudut pandang saya yang lalu-lalu itu.

Dulunya mungkin saya anti rezim Jokowi, jadi berbalik arah, padahal tindakan saya didasarkan pada observasi tersebut–setelah menyemai realita yang sebenarnya.

Sekonyong-konyong malah ada yang membilangi saya ini sok pintar, congak, sombong, OKB, pongah dan yang masih sederetan nya itu?

Sebenernya salah saya dimana?
Apakah saya begitu bodohnya karena sudah menjadi ‘Kecebong’?

Kalau saya dikatakan orang kaya baru (atau OKB), apa mau saya banggakan, toh rumah juga masih ngontrak, pun kendaraan beroda dua juga masih kredit?

Saya juga tidak punya aset bahkan untuk puluhan juta nilainya ?

Saya hanya punya buku-buku itu. Dan itulah harta satu-satunya jika mungkin saudara bisa lihat datang ke gubuk kontrakan saya di Cidodol, Kebayoran Lama. Hanya itu saja.

Jika dikatakan saya ini pongah, sok pintar, dan congak, bukan kah tiap orang punya kesimpulan dan paradigma sendiri terhadap dunianya?

Saya malah makin gak ‘ngeh’?!

Tapi saya tidak kaget! Dan sudah biasa! Karena, ya, begitulah……

Tinggalkan komentar

Situs yang Dikembangkan dengan WordPress.com.

Atas ↑